Bisma mati. Dalam formasi barisan yang menempatkan Srikandi (yang sesungguhnya reinkarnasi Amba, wanita yang menaruh dendam pada Bisma) di depan melindungi Arjuna, pihak Pandawa melumpuhkan satu kekuatan besar dalam tubuh Kurawa.
Semua yang mengetahui kisah peperangan Kurusetra ingat betapa segan Arjuna menghabisi kakeknya di kesempatan-kesempatan sebelumnya, termasuk ketika Kresna memanas-manasinya.
Sementara begitu banyak anak panah menancap di tubuh Bisma, satu per satu yang ada di arena perang menggilir nama yang sama dari mulutnya. “Bisma.” Satu. “Bisma.” Dua. “Bisma”. Tiga, dan seterusnya seolah sejak bayi mereka cuma diajari melafal satu kata.
Kemudian, mulut-mulut tadi merapal nyanyian cepat, rapping, tentang kematian Bisma, dengan iringan tepuk tangan. Suasana jadi agak lucu.
Apa yang ingin diperbuat oleh pementasan “Mahabharata 3: Kurusetra War” arahan Hiroshi Koike terhadap semua adegan berkemungkinan dramatis?
Pertanyaan ini muncul sebab kematian Bisma bukan satu-satunya yang dihindarkan dari kemungkinan dramatis. Upaya mempermalukan pun dialami Drupadi.
Sambil berupaya menarik kain yang tersisa di tubuh Drupadi, Dursasana bersama pemain-pemain lain yang memainkan sehelai kain merah panjang, berteriak, “Lonte! Lonte!”, sesekali diseling ocehan-ocehan usil seperti, “Kimochi!” Bukan kebetulan jika yang memerankan Drupadi adalah aktris Jepang, Shirai Sachiko.
Di lain kesempatan, malah Gunawan Maryanto terang-terangan “keluar” dari jalur dan bicara kepada penonton padahal perang tengah berkecamuk. Demi memberi waktu agar Gunawan Maryanto bisa menyapa dan melempar lelucon pada penonton, perang ditahan.
Semua yang tadinya sedang berseteru, minggir. “Lagi perang malah disuruh woro-woro. Sutradarane asu,” ujar anggota Teater Garasi ini.
Ketiganya punya satu kesamaan: membuat intensitas cerita yang sedang menapaki tangga dramatik, jadi anjlok.
Setelah menampilkan bagian pertamanya di Kamboja pada 2013, lalu mampir ke negeri asal kisah Mahabharata, India, pada 2014 untuk bagian kedua sebelum dilanjut ke Jepang tahun 2015 demi pentas Mahabharata jilid 2,5. Indonesia mendapat jatah bagian ketiga bridge project sutradara Jepang, Hiroshi Koike.
Pertunjukan yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Jakarta, 28-29 September 2016 ini mengambil judul Kurusetra War dan menyajikan bagian peperangan antara keluarga Pandawa dan Kurawa di Kurusetra.
Pada jumpa pers sehari sebelumnya, 27 September 2016, Koike sudah menegaskan bahwa pertunjukan ketiga dari rangkaian delapan pementasan ini mengandalkan gerak sebagai senjata utama.
Penonton yang datang ke Graha Bhakti Budaya dapat melihat berbagai referensi jenis gerak hadir di panggung, dari gerak khas pewayangan Jawa sampai shuffle dance. Demikian pula dengan ragam gaya menyanyi. Dari rap sampai sinden, masuk.
Intensi Koike untuk menyuguhkan gerak di garda depan kekuatan pertunjukan sebetulnya berdasar karena pemain-pemain pilihannya mampu menghadirkan olah tubuh yang hidup di atas panggung. Gerakan wayang di tengah peperangan berganti gaya shuffle dance dengan cepat di penghujungnya sebelum meliuk-liuk lompat sana-sini ketika para pemain memerankan kera-kera yang rebut di depan Destarastra.
Pemfokusan pentas pada gerak juga sebetulnya sudah terlihat dengan dibiarkannya para pemain bicara dengan bahasa asli daerah asal masing-masing. Tokoh-tokoh dalam Mahabharata pada penampilan ini muncul dengan bahasa Indonesia, Jawa, Tagalog, Inggris, dan Jepang, sebab pemainnya memang diambil dari berbagai negara Asia.
Ini selain sejalan dengan konsep besar proyek Koike yang akan menyambangi beberapa negara Asia yang menerima Mahabharata dari India selama masa penyebaran agama Hindu, juga bisa berfungsi agar tuturan lisan tidak mengalahkan peran gerak.
Namun, pada penampilan kemarin, peluang ini seperti dikhianati sendiri. Penyebabnya adalah keberadaan teks terjemahan di layar sisi kiri panggung. Alih-alih memperkuat, teks yang kadang tidak terbaca karena terhalang asap dan lampu panggung ini malah mengganggu.
Pertama, masalah teknis; dialog seorang pemain harus tertunda beberapa saat untuk memberi waktu terjemahan bekerja atas ucapan lawan bicaranya. Kedua, penonton jadi sibuk kejar-kejaran dengan durasi tayangan teks terjemahan demi mengerti apa yang diucapkan Lee Swee Keong (Malaysia), Koyano Tetsuro (Jepang), Shirai Sachiko (Jepang), Carlon Matobato (Filipina), Gunawan Maryanto (Indonesia), Suryo Purnomo (Indonesia), Riyo Tulus Pernando (Indonesia), Sandhidea Cahyo Narpati (Indonesia), dan Wangi Indriya (Indonesia) ketimbang mencermati apa yang mereka lakukan di atas panggung.
Kebawelan yang disinggung di awal, yang menegasi kemungkinan dramatis pertunjukan, sebetulnya telah menjadi contoh tepat bagaimana pementasan ini sebetulnya bisa konsisten menonjolkan gerak. Selain mengubah arah rasa cerita, kelisanan yang main-main itu dapat mencegah penonton tersuruk pada lubang-lubang melankolia yang ada di penjuru cerita dan tetap fokus menikmati yang utama.
Ini baik, sebab jujur saja, segi cerita memang tidak bisa jadi kekuatan. Tidak ada hal baru yang menarik di sana. Malah, penonton – yang mungkin sudah akrab dengan cerita aslinya – harus berkompromi dengan pemenggalan kisah dan penghapusan tokoh demi tertanggulanginya masalah durasi pentas.
Dengan pilihan yang sudah diambil, “Mahabharata 3: Kurusetra War” akhirnya menjadi sebuah pentas yang tanggung.