Paviliun Indonesia dalam Venice Biennale 2013. Tahun ini, Indonesia hanya menampilkan karya Heri Dono bertajuk Voyage. (www.abc.net.au)

“Apa itu Venice Biennale? Dimanakah Venice Biennale berada di peta dunia seni rupa dunia saat ini?”

Happy Mayorita Aviani

Pertanyaan itu dicetuskan salah satu media saat menghadiri konferensi pers Trokomod: Indonesia @La Biennale di Venezia yang diselenggarakan di Lawangwangi Creative Space di Bandung pada Selasa (3 Maret 2015) lalu.

Menanggapi pertanyaan itu, satu hal yang dipikirkan para pembicara yang hadir dalam acara konferensi pers tersebut terdiri dari  Bambang Sugiharto (Dosen Filsafat UNPAD), Heri Dono, Hal Rifky “Goro” Effendy, dan Asmudjo Jono Irianto. Bahwa, pemahaman seni di kalangan masyarakat Indonesia dapat dikatakan minim mengingat Venice Biennale merupakan biennale seni pertama yang diselenggarakan di dunia dan event seni terbesar yang ada saat ini.

Ketidaktahuan ini cukup mengherankan Asmudjo selaku dewan artistik Pavilion Indonesia di Venice Biennale 2015. Terutama dengan mudahnya saat ini kita mengakses informasi di Indonesia.

“Ada negara miskin di Afrika yang bersikeras untuk dapat unjuk gigi di ajang Venice Biennale, juga negara yang penduduknya hanya 12.000 jiwa. Adalah hal yang cukup memalukan, sebetulnya, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia justru baru dua kali secara resmi mengikuti Venice Biennale di tahun 2015 ini,” ujar Asmudjo.

Menurutnya, hal itu sangat disayangkan mengingat seniman Indonesia di peta seni rupa dunia saat ini memiliki peranan yang cukup penting bahkan diperhitungkan. “Kalau bisa oke di berbagai art event internasional, masa iya tidak bisa tampil di Venice Biennale?” imbuh Asmudjo.

Ironinya, di dalam negeri prestasi para seniman Indonesia itu juga tak terdengar suaranya. Pemerintah Indonesia bahkan memandang sebelah mata. Setidaknya demikian yang disampaikan Carla Bianpoen selaku dewan artistik Pavilion Indonesia untuk Venice Biennale kali ini.

Carla mengaku kesulitan membujuk pemerintah untuk mengucurkan dana pembiayaan pavilion Indonesia di Venice Biennale. Sementara di sisi lain, apresiasi masyarakat internasional kepada karya-karya seniman Indonesia sangat tinggi.

“Di Venice Biennale 2013, Pavilion Indonesia adalah salah satu dari 10 pavilion dengan pengunjung terbanyak,” kata Carla. Ia mengklaim bahwa semenjak Indonesia tampil di Venice Biennale 2013, apresiasi masyarakat seni internasional kepada dunia seni Indonesia ikut kian intens.

(Foto : www.swide.com)

Banyak kurator internasional mendatanginyadan mengapresiasi karya seniman Indonesia. “Mereka mengatakan, karya Indonesia mampu menawarkan hal baru yang segar dan inovatif,” ujarnya.

Maka dari itu, keikutsertaan Indonesia di ajang Venice Biennale 2015 adalah hal yang harus didukung dan diapresiasi. Asmudjo berharap, keikutsertaan Indonesia di ajang Venice Biennale dapat menaikkan kesadaran pemerintah untuk membantu menyebarkan pemahaman akan pentingnya seni dan budaya kepada masyarakat.

“Akan bagus sekali kalau di sekolah-sekolah nanti, pendidikan seni dan budayanya juga mengajarkan mengenai perkembangan seni budaya kontemporer selain seni budaya tradisi,” ujar Asmudjo.