Awalnya, cukilan kayu seniman grafis asal Malaysia ini cenderung fokus pada garapan teknik. Kini, karya-karyanya hadir dengan teknik yang lebih rumit, goresan lebih detail, dan konten mendalam.
Dua ekor anjing Dalmatian berdiri tegak saling membelakangi, bertumpu pada kedua kaki belakangnya. Seburat garis merah memisahkan mereka bagai sebuah cermin. Di sisi lain ruangan, moncong seekor kerbau tengah ditarik-tarik. Si kerbau tentu saja tampak enggan mengikuti arahan sosok tak berwujud itu dan berusaha bertahan melawan kerasnya tarikan.
Tak hanya anjing Dalmatian dan kerbau saja yang menghiasi dinding-dinding Galeri Soemardja – Intitut Teknologi Bandung (ITB), sejak 25 November hingga 5 Desember 2013 lalu. Ada pula orang utan yang tengah termangu, ayam jago dengan bulu-bulu lehernya yang mengencang tanda siap bertarung, ular kobra yang tengah memamerkan taringnya, hingga katak dan lembu yang galau dengan bentuk fisiknya masing-masing.
Seluruh hewan-hewan itu bukanlah pameran koleksi kebun binatang. Melainkan, goresan kuas Juhari Said – seniman grafis asal Malaysia – yang menggelar pameran tunggal di Galeri Soemardja, Bandung, dengan tema “Hewan”. Setidaknya Juhari menampilkan 18 karya seni grafis, hasil cetak dari bongkahan kayu yang dicungkil.
Tidak seluruh karya yang dipamerkan merupakan karya-karya terbaru Juhari. Beberapa diantaranya bahkan dibuat pada tahun 1997, 1999, 2000, dan 2012. Pameran ini seakan-akan khusus diadakan untuk menunjukkan perjalanan Juhari mengeksplorasi teknik dan ide dalam berkarya menggunakan kayu sebagai media. Dalam pameran ini terlihat bagaimana Juhari selalu menawarkan menawarkan ide-ide baru setiap kali berpameran. Begitu pula dengan teknik dan konten yang bertambah rumit. Selalu ada hal baru yang ia tawrkan dalam karya-karyanya.
“Seni grafis tidak sama dengan seni lukis yang bisa ditimpa ulang dengan cat jika ada yang salah. Anda harus membuatnya kembali dari awal. Saya adalah orang yang sangat menyukai tantangan, dan hanya orang-orang yang gemar menghadapi tantangan yang berani untuk terjun ke dunia seni grafis,”ujar Juhari menjelaskan alasan ia begitu tertarik dengan seni cungkil kayu dan grafis.
Sekitar tahun 1990-an, Juhari mulai mencampuradukkan beragam bahan dalam karya-karyanya. Terkadang ia mencampurkan graphite dan cairan kopi di atas kertas membentuk sebuah karya grafis. Lalu, ia mulai menggabungkan potongan-potongan kain atau plastic di atas kertas. Kemudian, ia menspesifikkan karya kreatifitasnya pada kayu cungkil dengan penambahan warna-warna cerah di atas kanvas.
Terkadang, objek-objek karya seni grafis Juhari tersusun dari garis-garis yang membentuk objek tertentu dengan penambahan warna-warna cerah. Namun, ada pula saatnya ia menampilkan cungkilan kayu dengan objek yang sangat jelas terbaca seperti pada karya “Bertuankan Beruk” (1999) yang menggambarkan seekor gorilla tengah memegang rangkaian bunga, dan “Katak Hendak Menjadi Lembu” (1997) yang menggambarkan metamorphose seekor katak menjadi lembu.
“Setiap hari ia disibukkan dengan kehidupan hewan-hewan peliharaannya yang mempunyai sifat, cara, dan pola hidupnya masing-masing. Perlahan, Juhari mampu menghayati interaksi dua dunia itu, begitu juga dengan hewan-hewan itu hingga terjalin sebuah harmoni,”kata Setiawan Sabana – seniman grafis asal Bandung – seperti yang dilansir dari pengantar katalog pameran.
Namun seiring waktu, Juhari mulai mengeksplorasi bentuk lain dari papan-papan kayu yang selama ini menjadi media utamanya dalam berkarya. Dalam sebuah workshop, ia menemukan bahwa mengukir di atas bongkahan kayu utuh dengan sifatnya semi keras ternyata memudahkannya bereksperimen dan berkreasi. Ia memilih kayu jambu laut yang memiliki sifat hampir sama dengan meranti sebagai media.
Pengembangan teknik ini kemudian ia sebut “3D Prints”, dimana bongkahan kayu tak lagi menjadi sekadar media namun meningkat menjadi objek dari karya seni itu sendiri. Bentuknya tak jauh seperti sebuah karya patung kayu.
Hal yang membedakan adalah karya cungkil kayu “3D Prints” Juhari menekankan pada bahasa kayu itu sendiri. Ia lebih menonjolkan tekstur, bidang, garis, goresan, dan warna disela-sela goresannya.
“Bagi saya yang terpenting dari sebuah karya bukanlah kepuasan sang seniman ataupun penerimaan pengunjung yang menyaksikannya. Namun bagaimana sebuah wacana bisa terbangun dari karya tersebut,” ujar Juhari.