Dalam berkesenian, Sidik Martowidjojo terinspirasi kekuatan dan keanggunan bunga peoni.
Alkisah, di masa pemerintahan kaisar wanita pertama dan satu-satunya di China, Kaisar Wu Zetian, seluruh bunga di taman istana diperintahkan untuk mekar. Padahal, saat itu bukanlah musim semi, melainkan musim dingin. Tak mungkin bunga-bunga itu bermekaran.
Namun, karena perintah itu adalah perintah Kaisar, perpanjangan tangan Tuhan, bagaimanapun caranya perintah itu harus dijalankan. Maka bermekaranlah semua bunga, kecuali satu, bunga peoni.
Bunga peoni menentang kehendak Kaisar Wu Zetian. Ia menolak untuk mekar di luar musimnya. Ia pun tetap bersiteguh dengan pendiriannya. Alhasil, Kaisar yang murka membuangnya ke daerah terpencil, keluar dari kenyamanan taman istana. Meski demikian, keindahan, keanggunan, dan kepribadiannya yang kuat telah telanjur melekat.
Bunga yang juga disebut dengan mudan inilah yang kemudian menjadi inspirasi Sidik Martowijojo dalam melukis bunga. Dengan berbagai warnanya yang cerah, ataupun gelap, Sidik mencoba menangkap kekuatan dan keanggunannya dalam teknik lukis yang cukup sulit.
“Bunga peoni adalah simbol dari kepribadian yang kuat. Sikap inilah yang harus dimiliki oleh setiap manusia, dan negara. Mereka harus memiliki identitas diri yang jelas, ideologi yang kuat. Meski dari luar terlihat lemah dan lembut, namun kekuatannya tidak bisa ditandingi baik oleh seorang kaisar besar sekalipun,” kata Sidik.
Sidik baru saja selesai menggelar pameran tunggalnya di Gedung Arsip Nasional, Jl. Gajahmada, Jakarta, 23-29 Maret 2013 lalu. Ada 76 lukisan bergaya Chinese painting (Guo Hua) yang dipamerkan dalam pameran bertajuk ‘Jembatan Emas Seni Rupa Indonesia-Cina’ itu. Namun, hanya sekitar 40 lukisan yang ditampilkan di gedung Arsip Nasional, karena keterbatasan tempat.
“Sebagian besar koleksi yang ditampilkan merupakan karya sejak tahun 2008,” kata pelukis kelahiran Malang, Jawa Timur, 24 September 1937 ini. Hanya sekitar 12-13 koleksi yang merupakan karya terbarunya tahun ini. “Persiapan pameran ini cukup singkat. Hanya dua hingga tiga bulan”.
Sidik menjelaskan, pameran ini merupakan bagian dari kerja sama Pemerintah RI-China untuk mendongkrak minat para wisatawan dari negeri tirai bambu agar mau berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, Sidik juga pernah beberapa kali menggelar pameran tunggal di China. Ia bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah China, antara lain dari karya Bunga Phoenix (media cat hitam putih) sebagai Lukisan China Mutu Terbaik dalam kompetisi seni lukis dan kaligrafi China sedunia di Beijing (2001) dan di Nanjing (2002).
Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi pelaksanaan pameran ini. Pertama, katanya, China dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama memiliki teritorial yang luas dengan jumlah penduduk yang besar. “Jika kedua negara ini bersatu, tentu akan menjadi lebih baik lagi,” katanya. Kedua, “saat ini China adalah negara yang memiliki uang yang cukup banyak. Sementara Indonesia kaya akan kandungan mineralnya. Bayangkan jika dua sumber kekayaan ini menyatu”.
Salah satu cara untuk mendekatkan kedua negara adidaya di Asia ini, menurut Sidik adalah melalui seni budaya. “Seni dan budaya tidak memiliki batasan, tak ada teritorial, seni dan budaya adalah universal. Ini adalah kesempatan tepat,” katanya.
Kali ini, Sidik membagi koleksi pamerannya dalam tiga tema yakni Lansekap, Bunga, dan Satwa. Hal ini memang tidak jauh dari tema umum yang kerap digunakan Sidik dalam setiap karyanya. Pria bernama asli Ma Yong Qiang ini, memang sering menjadikan pemandangan alam sebagai objek dalam lukisannya.
Dua tema lukisan, lansekap dan bunga, menurut Sidik tetap menjadi primadona dalam pameran. Lukisan lansekap yang begitu khas ‘Sidik’ banyak menarik minat para kolektor dari Indonesia. Sementara, lukisan bunga tentu saja menarik perhatian para kolektor dari China.
“Lukisan lansekap yang ditampilkan adalah lukisan khas Sidik. Tidak ada duanya di dunia, tidak mudah untuk ditiru. Lukisan itu adalah ciri khas Sidik,” katanya.
Sementara, satu lukisan dari tema satwa yang menjadi primadona dan dijagokan Sidik, adalah lukisan kuda menembus awan. “Lukisan kuda ini sangat spesial. Ia tidak dilengkapi dengan mulut. Badannya yang menembus kepulan awan, membuatnya seakan-akan terbang menembus langit,” kata Sidik.
Bukan Sidik jika lukisannya tidak menyiratkan sesuatu. Ia mengatakan, kuda lukisannya adalah simbol keberhasilan. “Melalui lukisan ini, saya ingin mengatakan bahwa sebagai manusia, dan negara, harus memiliki visi misi dan cita-cita setinggi langit, hingga menembus awan,” katanya.
Sidik belajar melukis secara otodidak sejak berusia kanak kanak. Saat itu ia sudah jatuh cinta dengan lukisan aliran Guo Hua yang menggunakan media kertas beras dan cat air. Lalu, pada usia sembilan tahun, ia mulai belajar kaligrafi dari Nie Phing Chong dan Xiau Pai Xin (alm), seorang kepala sekolah Tionghoa di Malang.
Sidik juga belajar sastra dari ayahnya, Phe Hwie Kwan, yang mengenalkannya kepada buku-buku karya pelukis maestro China, seperti Qi Baishi. Seiring waktu ia mulai mengenal dan mengagumi karya-karya Handrio, H. Widayat, S. Sudjojono, dan Hendra Gunawan.
Di Indonesia, jumlah seniman lukis beraliran Guo Hua seperti Sidik memang tidak banyak. Menurutnya, seniman lukis Indonesia lebih suka mengikuti perkembangan pasar. “Banyak yang bertanya mengapa saya tidak juga menggunakan kanvas dan cat minyak seperti yang dilakukan kebanyakan pelukis di Indonesia. Jawab saya: “Saya bisa kehilangan jati diri”,” katanya.
Ia juga mengakui, melukis dengan menggunakan media kertas beras dan cat air jauh memuaskan ketimbang menggunakan kanvas dan cat minyak. Tidak saja saat akan melukis, namun setelah lukisan selesai kepuasannya juga terasa berbeda.
Menurutnya, melukis di atas kertas beras ternyata juga membuat cat lebih menyerap dan mengikat dibandingkan media lainnya. Lukisan pun lebih tahan lama.
Hingga tahun ini, Sidik sudah memproduksi 300 hingga 400 karya. Sebagian besar media kertas beras ia peroleh langsung dari negeri tirai bambu. “Di Indonesia ada, tapi kualitasnya jelek. Di Singapura harganya terlalu mahal,” katanya.
Sejak 1998, Sidik telah menggelar lebih dari 20 pameran tunggal dan pameran bersama. Seperti pameran di Galeri Nasional – Jakarta, Langgeng Gallery – Magelang, dan Nadi Gallery – Jakarta. Dalam sejumlah kesempatan ia juga mulai mengadakan pameran di Cina, seperti The China Millennium Monument – Beijing, National Art Museum of China (NAMoC) – Beijing, Liu Haisu Art Museum – Shanghai, Fuzhou National Gallery – Fuzhou, dan Huafu Tiandi – Shanghai.
Ia juga mendapat piagam penghormatan 10 Besar Seni Budayawan pada forum diskusi ilmiah “Masyarakat Kecil dan Makmur di Beijing” pada 2006 dari Pusat Pemuda Partai China, karena dianggap berhasil melakukan pembaharuan dalam seni budaya Cina. Uniknya, Sidik adalah satu-satunya peserta dari luar Cina.
Atas karyanya, Sidik juga diangkat sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Seni Republik Rakyat Tiongkok di Beijing dan sebagai pengajar tamu (guest professor) di Eastern International Art College of Zhengzhou University of Light Industry pada 2007.
“Cukup bangga, karena mereka menghargai tinggi koleksi saya. Mereka mengatakan sangat senang dengan karya lukisan saya, berbeda dengan seniman-seniman China yang terkesan manja karena mereka harus dibayar untuk membuat karya,” katanya menuturkan.
Sayangnya, ia mengeluhkan bahwa dukungan dan perhatian pemerintah China seperti itu tidak terjadi di Indonesia. Seniman lukis Indonesia maupun seniman lainnya harus berjuang sendiri untuk mengembangkan karya mereka. “Padahal peran seni dan budaya dalam perkembangan bangsa cukup penting. Seni dan budaya adalah identitas bangsa, masa depan bangsa,” kata Sidik.