Pembuat-Batik-(hitam-Putih)_

Rastika, Pembuat Batik (hitam Putih), 85 x 122 cm

Dulu disakralkan, kini lukisan kaca dari Cirebon dipandang tak lebih sebagai kerajinan berharga murah.

Bentara Budaya Jakarta (BBJ) menggelar pameran “Warisan Budaya, Wangsa Cerbon-Dermayu” pada 13-23 Juni 2013 yang menampilkan topeng (kedok), gerabah, batik, wayang, dan lukisan kaca. Dari latar belakang sejarahnya, lukisan kaca di Cerbon dan Dermayu pada awalnya hanya untuk kalangan bangsawan, dan diyakini mengandung nilai sakral dan mistis – lukisan kaca dipasang di depan pintu untuk mengusir kekuatan jahat. Namun saat ini lukisan kaca diposisikan sebagai hiasan dan dijual dengan harga murah. Padahal di balik itu, terdapat teknik pembuatan “terbalik” yang membutuhkan detail dan ketelitian, juga dalam pemilihan corak warna.

Untuk memperlihatkan perjalanan nasib lukisan kaca, BBJ mendatangkan karya dua pelukis kaca yang dinilai terbaik dan tetap konsisten mengangkat teknik tradisional yaitu Rastika dan puteranya Kusdono.

Mengangkat tema “Wangsa” yang arti harfiahnya adalah “warisan budaya”, keduanya memamerkan 24 lukisan, Rastika (19 lukisan) dan Kusdono (lima lukisan) dengan mengangkat tema seputar cerita rakyat, kisah pewayangan, situasi keseharian masyarakat Cirebon, dan simbol-simbol agung daerah itu, seperti Buroq (burung berkepala manusia). “Pada dasarnya, tema karyanya terbagi pada darat, langit, dan laut,” kata Ipong Poernama Sidhi, kurator BBJ.

Dalam ranah lukisan kaca, Rastika merupakan tokoh senior. Seniman berusia 70 tahun ini  telah menekuni bidang lukis kaca selama 50 tahun, dan kini profesinya tersebut diteruskan anaknya, Kusdono, 32 tahun, yang karena menderita polio sejak kecil, ia melukis di atas kursi roda. Dari sosok Kusdono, kita bisa melihat sebuah contoh bagaimana seni tak mengenal keterbatasan fisik selama ada ketekunan.

Kebanyakan dari 19 lukisan yang dibuatnya, Rastika terinspirasi terhadap tokoh pewayangan dan mengangkat ragam kesenian Cirebon. Dari keseluruhan karyanya, Rastika paling berkesan pada karya berjudul Gatot Kaca Sabda Guru berukuran 30×25 cm, yang dibuatnya pada tahun 1960, saat ia berusia 18 tahun. Di lukisan itu, tampak sosok Gatot Kaca yang dilukis dengan cat hitam dan kini sudah memudar.

Rastika begitu terpikat pada cerita-cerita pewayangan karena pada saat masih muda, ia pernah menjadi penabuh gamelan di sejumlah pementasan wayang. Saat menabuh gamelan itu, Rastika memperhatikan dengan saksama cerita yang dituturkan dalang, lalu melukiskannya. “Dari semenjak kecil, riwayat saya sama dengan bapak. Kami menyukai tema pewayangan karena sama-sama suka nonton wayang sampai pagi,” kata Kusdono yang menyukai sosok Semar, karena mencerminkan manusia yang memiliki keluhuran baik di dalam jiwa maupun tingkah laku.

Lukisan lain yang menjadi perhatian pengunjung pameran adalah Banda Kawa Tayuban yang berukuran 80×122 cm dan Pembuat Batik, lukisan hitam putih berukuran 85×122 cm. Ipong Purnama Sidhi mengungkapkan kelebihan dari dua lukisan ini terletak pada komposisi yang menarik dan kesan yang tidak stereotip.  Sedangkan pada lukisan Pembuat Batik, menjadi unggul karena Rastika jarang sekali melukis hitam dan putih, padahal prosesnya lebih rumit, karena satu warna harus bisa ditonjolkan di atas warna lain, sedangkan alasnya harus berwarna cokelat.

Detail yang ditampakkan lukisan kaca ini memperlihatkan proses yang memerlukan ketekunan. Inilah yang dilakukan Rastika dan Kusdono setiap hari di rumahnya, di Desa Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tak hanya untuk memproduksi lukisan, lewat Sanggar Prabangkara yang didirikan Rastika, ia dan Kusdono pun memberikan pelatihan tentang seni melukis kaca dengan teknik tradisional. Pada perkembangannya, kini seni lukisan kaca juga mengenal teknik semprot yang dikembangkan oleh Totok Sunu, salah satu murid Rastika.

Kegigihan Rastika untuk tetap mempertahankan teknik tradisional salah satunya didukung oleh mantan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Joop Ave. “Kamu jangan macam-macam kalau bikin lukisan,” kata Joop Ave pada Rastika. Maksudnya saat itu, jangan meniru-niru teknik lain seperti semprot, dan tetap mempertahankan citra klasik.  Itulah yang selalu dilakoni Rastika dan keluarga – untuk tetap memiliki kesetiaan dan kecintaan yang bersahaja terhadap tradisi.

Teknik lukisan kaca tradisional terbilang rumit. Awalnya gambar dilukis dalam bentuk sketsa di kanvas, lalu ditempel di kaca dan diproses kembali gradasi pewarnaanya di kaca, dalam pewarnaan yang menggunakan cat merek kuda terbang.  Komposisinya biasa berupa 50% merah, 25% hijau dan biru, dan 25% warna lain, hitam sebagai warna dasar, putih dan emas warna terakhir. Setelah dirasa sempurna, lukisan diberi bedak/pupur untuk menjaga kelembapan lalu dibingkai. Sedangkan dalam lukisan kaca tiga dimensi, sketsanya dibagi tiga – depan, tengah, dan belakang, kemudian tiga gambar disatukan dan di setiap kaca terdapat ruang pemisah.

Dengan detail yang begitu rumit semacam itu, sayangnya lukisan kaca tidak mendapatkan apresiasi yang sebanding. “Lukisan kaca di sini lebih dikenal hanya sebagai crafting,” kata Ipong Purnama Sidhi. Padahal media ini telah ada sejak abad ke-17 di Eropa dengan pengaruhnya menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Selain Cirebon, lukisan kaca berkembang pesat di Yogyakarta, Magelang, Madura, dan Singaraja – Bali.

Selain Rastika, terdapat dua maestro pelukis kaca yaitu Jro Dalang Diah (Singaraja) dan Waged (Yogyakarta) – keduanya telah meninggal. Sebagai tokoh lukisan kaca, Rastika pernah memiliki jaringan luar biasa pada era 1980-1990-an. Puluhan orang datang ke rumah Rastika untuk membeli lukisannya, bahkan banyak yang dari pejabat-pejabat Orde Baru. Namun nasib lukisan kaca dan maestronya tidak semanis dulu lagi.

Perhatian dari kota asalnya sendiri menurut Kusdono sudah tidak didapatkan lagi. Justru bantuan banyak didapatkannya dari luar. Terutama ketika Rastika sempat terkena stroke. Keluarga sempat kebingungan untuk mengatasi masalah keuangan yang ada, dan bantuan malah didapatkan dari teman-teman Rastika yang berada di luar negeri.

Kesulitan keuangan ini wajar dialami para seniman lukisan kaca karena harga jualnya terlalu murah untuk modal pembuatan lukisan yang bisa mencapai Rp 1 juta untuk lukisan besar dan Rp 500 ribu untuk lukisan kecil.

Harapan ke depannya, meski bagi ayah dan anak ini profesi sebagai pelukis kaca sangat memuaskan batin, mereka berharap upaya dalam mengangkat salah satu kesenian Cirebon ini bisa mendapat penghargaan lebih luas terutama oleh pemerintah.

Gatot-Kaca-Sabda-Guru-3_

Rastika, Gatot Kaca Sabda Guru, 60 x 72 cm