seni lukis, karya lukis, karya lukisan, karya Galih Reza Suseno
"Providential Dei" karya Galih Reza Suseno. (Dok. Seniman).

Berkarya seni rupa, seringkali digunakan seniman sebagai media kontemplasi. Entah perenungan tentang tujuan hidup hingga penghayatan kepada Sang Khalik, bisa jadi muncul di sana. Begitu pula dengan Galih Reza Suseno, yang menampilkan pemikirannya tentang upaya menemukan Tuhan lewat pameran tunggal “Imago Dei” sejak 21-29 Juli 2017 di  Bentara Budaya Yogyakarta.

“Imago Dei” sendiri tidak begitu saja muncul. Kehadiran pameran ini merupakan pengembangan dari thesis pascasarjana Galih di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta belum lama ini. Dosen pembimbingnya kala itu, M. Dwi Marianto, dan dosen penguji Suwarno Wirosetrotomo, memberi tulisan pengantar untuk pameran ini. Dari total 18 karya yang ditampilkan, 12 karya adalah hasil thesisnya yang sudah diuji dan sisanya merupakan karya baru.

Topik spiritualitas ini muncul sebagaimana Galih Reza Suseno yang seorang Kristiani, tumbuh dan besar di lingkungan yang taat beragama. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan rohani dalam lingkup pergaulan yang seiman. Hingga suatu titik ia menemukan banyak sekali persepsi mengenai citra ketuhanan yang mengusik dirinya. Rumah peribadatan kini ia rasakan penuh dengan keriuhan, sehingga melunturkan kekhusyukan dalam aktivitas beribadah itu sendiri.

“Banyak sekali persepsi imagologi yang menyebabkan rumah ibadah tergabung dengan image hingar bingar, saya merasa tidak ada Ruh Tuhan di sana. Dari situ saya ingin menelisik kembali kedekatan saya dengan Tuhan juga sebagai sebuah otokritik,” ujar sosok kelahiran Surakarta, 29 April 1990 itu.

“Put Down My Burdens” karya Galih Reza Suseno. (Dok. Seniman)

Konsep Imago Dei sendiri dalam agama Kristen maupun Katolik, bisa diartikan sebagai “Citraan Allah”. Manusia disebut sebagai ciptaan yang dibentuk sesuai dengan gambaran Allah, memiliki berbagai sikap dan pemikiran yang dimiliki oleh Allah. S. Dwi Marianto dalam tulisan pengantarnya juga menyebutkan bahwa istilah Imago Dei secara khusus diaplikasikan bagi manusia untuk mengartikan relasi simbolis antara Allah dan humanitas/kemanusiaan.

Dalam pameran ini sendiri, kita bisa melihat bagaimana ruang kontemplasi Galih divisualisasikan di atas kanvas. Ia menampilkan bagaimana keriuhan duniawi beserta dramaturginya lewat goresan dan objek yang padat, menggabungkan berbagai unsur menjadi montase. Unsur alam salah satunya yang sering ia gunakan sebagai metafora. Alasannya, alam merupakan sesuatu yang mampu membawanya merasa dekat dengan Tuhan.

Melihat karya-karya Galih yang hadir di ruang pamer, kita seperti dihadapkan pada sebuah perjalanan spiritualitas yang ada di antara realitas penuh konflik. Fase itu tampak secara gamblang lewat judul-judul karya yang ia gunakan, beberapa di antaranya Berdamai dengan Masa Lalu, Menemukanmu dalam Rimba Fana, Finding the Truth, Put Down My Burdens, Lahirnya Dei, Providential Dei, hingga Above Imagine.

Dalam upaya mencari ruang khusyuk spiritualitas, karya-karya Galih menjadi menarik karna bayangan tentang rasa khusyuk yang “tenang” justru menjadi absen. Layaknya proses yang masih ingin ditemukan oleh seniman. Yang bisa ikut kita rasakan adalah pergolakan yang selalu membentur dan mengganggu Galih.

Hal ini pun seturut dengan pandangan Suwarno Wirosetrotomo dalam catatan pamerannya, yang menganalogikan ”Imago Dei” dengan lapis makna struktur bangunan Candi Borobudur. Menurutnya, Galih mengungkapkan hasrat dan kerinduannya pada ruang kosong sebagai puncak pencarian sekaligus penemuan; mencapai arupadatu yang tanpa gambar, tanpa wujud, sebagai ruang kosong.

Hasilnya, yang dituangkan oleh Galih Reza Suseno adalah layaknya rupadatu, kamadatu, dan karmawibangga, yang menarasikan kehidupan dunia hiruk pikuk penuh drama.