Kain-kain tipis berbahan satin bergelantungan di langit-langit Jogja Galeri, Yogyakarta. Ini bukanlah sebuah jemuran, melainkan karya Samuel Indratma dalam pameran tunggalnya bertajuk “Maju Jaya” pada tanggal 19 Agustus 2018
Pameran “Maju Jaya” merupakan pameran tunggal Samuel Indratma yang kedua kali pada tahun ini. Samuel terhitung telah melakukan 9 kali pameran tunggal semenjak tahun 1997.
Seniman yang lahir di Gombong, Jawa tengah pada 1970 ini dikenal juga sebagai seorang pendiri “Apotik Komik” (1997-2005), yaitu sebuah komunitas yang menggarap dan memfokuskan seni di ruang publik. Melalui komunitas nya ini Samuel aktif melakukan proyek-proyek mural di dinding kota Yogyakarta.
Pameran “Maju Jaya” dibuka dengan lantunan “mantra” berupa musikalisasi Puisi yang ditembangkan oleh Nasirun, seorang pelukis terkenal Indonesia yang juga merupakan kolektor seni rupa.
“Semalam saya bermimpi telah membuka pameran Samuel, saya melihat seorang ibu berjalan lurus ke depan meninggalkan tapak-tapak nya dan di kanan kiri nya ada bunga matahari yang melampaui tinggi ibu yang berjalan. Saya merasakan bahwa Samuel ingin menunjukkan kepada seseorang yang tidak bisa bersandar kepada bunga-bunga matahari.” Ucap Nasirun sebelum melantunkan mantra nya.
Kurang lebih 77 karya bergelantungan di langit-langit ruang pamer Jogja Galeri. Karya-karya ini didominasi oleh lembaran kain-kain satin yang dilukis maupun dikolase, selain itu Samuel juga memamerkan beberapa karya wayang-wayang ciptaannya.
Pengemasan karya pada pameran ini tergolong tidak lazim dan meresahkan pandangan. Karya-karya yang digantung membuat penikmat karya harus menengadah untuk melihatnya. Tidak hanya itu, karya yang tampil pun tidak dibubuhi caption, memberikan usaha lebih bagi para pengunjung untuk mengetahui makna dari karya-karya Samuel.
Menurut Yuswantoro Adi, seorang seniman yang juga menjadi pembawa acara pameran “Maju Jaya” mengatakan, Konsep mengemas karya layaknya “jemuran” ini mengadopsi sebuah tradisi dari masyarakat bali tentang kebiasaan menggantung kain panjang untuk menandai bencana dan hal-hal yang buruk.
“Karya seni yang di dalam sempat terlontar seperti jemuran, tapi sesungguhnya benar karena ada konsep dalam budaya bali yaitu ada kain panjang yang dipasang untuk menandai sesuatu contohnya bencana atau hal-hal yang buruk. Semoga dia menjadi semacam tolak bala terhadap Indonesia yang baru saja merayakan ulang tahun”. ujar Yuswantoro.
Hal Yang Biasa-Biasa Saja
Dalam karyanya, Samuel banyak menampilkan figur-figur manusia yang dilukis secara naif dan dekoratif. Selain menggantung karya, beberapa karya juga dipajang pada dinding, walau sebagiannya ada pada posisi display yang tidak lazim seperti di bagian bawah sudut dinding galeri.
Karpet-karpet merah yang dibubuhi coretan-coretan ekspresif pun tampak digelar menyandingi beberapa karya Samuel. Tidak hanya sampai disitu, Samuel juga membubuhi tulisan dan garis-garis outline pada sebagian dinding galeri
Pameran ini dikuratori oleh Alit Ambara, juga dikenal sebagai seniman poster yang banyak mengampanyekan isu-isu HAM. Alit menjelaskan bahwa pameran “Maju Jaya” ingin mencapai hal yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu pameran ini terkesan sederhana. Sederhana di sini adalah sebuah ungkapan “orisinil” yang tulus, niat yang lurus dan bersemangat tinggi.
“Ekspresinya, proses kreatifnya, teknik pengetahuan bahannya demikian sederhana untuk tidak mengatakan miskin, namun dapat mengundang keriuhan artistik yang tidak terduga bahkan dapat semena-mena”. Tulis Alit dalam catatan kuratorialnya.
Menurut Alit lagi, Medium adalah titik tolak penting dalam proses kreatif Samuel Indratma, sehingga kerap kali menghasilkan kejutan yang tidak berkesudahan.
“Maju Jaya” lebih tepatnya adalah sebuah perayaan akan pencapaian yang biasa-biasa saja dihasilkan dari usaha yang sangat kompleks juga rumit. Membutuhkan kebijaksanaan untuk ikut terlibat dalam keriuhan yang dapat membahagiakan pesertanya.
Chaos mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan pameran ini. Tanpa adanya judul karya dan detail karya, penjabaran Alit tentang pameran ini pun masih sulit dipahami korelasi nya terhadap kemasan dan visual karya yang dihadirkan Samuel.
Pengemasan karya Samuel, memang menghasilkan keriuhan di ruang pamer. Orang-orang menengadah melihat karyanya, berusaha mencari korelasi makna dari hal “biasa-biasa” saja yang ingin disampaikan Samuel Indratma.
Terdapat dua kalimat yang ditulis Samuel pada dinding ruang pamer, yaitu “bila tidak menarik, mungkin saatnya untuk mendorong” dan “dalam jiwa yang sehat terdapat kekinian yang kuat”.
Dua kalimat ini mungkin bisa sedikit menuntun untuk memahami pameran “Maju Jaya”. Samuel seolah menghadirkan realitas yang sarat akan makna urban, mistis, dan budaya. Realitas ini pun diusahakan hadir dalam wujud sebenarnya yang riuh dan kacau melalui penempatan karyanya.
Samuel seolah merekonstruksi sebuah suasana, mengajak orang untuk panik dan menjadi bagian dari subjek karyanya sendiri.
Seperti kata Yuswantoro Adi, bahwasanya “Jemuran” adalah sebuah refleksi budaya, maka Samuel melakukan pendekatan budaya untuk merekonstruksi sebuah suasana. Maka tepat kiranya jika caption tidak harus hadir untuk menjelaskan suasana tersebut. Mungkin juga, suasana ini lah yang diterjemahkan Alit sebagai hal yang “biasa-biasa” saja.
Samuel Indratma Solo Exhibition : Maju Jaya
Jogja Gallery, 19-29 Agustus 2018
Jl. Pekapalan Alun-Alun Utara No 7. Yogyakarta
Jogjagallery.net
Ticket : Free