Beijing International Art Biennale atau BIAB 7th 2017 menyodorkan tema sentral “Silk Road and World’s Civilization” atau “Jalan Sutera dan Pemberadaban Dunia”. Ini sebuah tema yang menantang, tidak saja bagi seniman Tiongkok sendiri, namun juga bagi para perupa dari luar Tiongkok—termasuk seniman Indonesia.

Kalau membuka kembali lembar-lembar sejarah, kita akan disadarkan tentang jalan sutera sebagai sebuah terobosan ekonomi yang berdampak besar pada aspek sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Dampak itu terasakan di Tiongkok sendiri dan negara-negara yang jadi mitra hubungan dagang tersebut, seperti di kawasan Asia Tengah, negara-negara Arab, Eropa Timur, hingga Eropa Barat, dan lainnya. Jalan sutera yang diawali sekitar abad ke-2 Masehi hingga berlanjut sekitar abad ke-16 tidak bisa dipahami sekadar sebagai praktik perdagangan, namun sebagai sebuah pertukaran kebudayaan. Secara evolutif ini memberi sumbangan besar bagi gejala akulturasi atau percampuran kebudayaan antarkawasan di berbagai negara yang dilalui oleh jalan sutera tersebut.

“Silk Road” sebagai tema sentral perhelatan BIAB 7th 2017 ini, bagi seniman Indonesia, tidak bisa diterjemahkan secara mentah atau ekstrem sebagai sebuah perjalanan perdagangan atau kebudayaan seperti yang telah terpapar lengkap dalam buku-buku sejarah dunia. Tema tersebut menjadi sumber pengetahuan yang baik bagi kebanyakan seniman Indonesia, terutama yang terlibat secara langsung dalam perhelatan penting berlevel dunia, Beijing International Art Biennale. Tentu saja tak mungkin dipahami secara mentah karena problem momentum dan jarak.

Dikatakan ini sebagai problem momentum karena jalan sutera telah terjadi jauh pada ratusan atau ribuan tahun yang lalu, sehingga kini tinggal menjadi catatan sejarah. Dan ada problem jarak karena peristiwa jalan sutera berada jauh dari Indonesia secara geografis. Sehingga yang bisa diserap oleh orang atau seniman Indonesia adalah spirit dan nuansa tentang jalan sutera.

Saya kira, hampir sebagian besar karya seniman Indonesia yang dihadirkan dalam BIAB di Paviliun Indonesia adalah karya yang mencoba melakukan pembacaan ulang (re-reading) atas tema “Silk Road” yang kemudian dikontekstualisasikan kembali (re-contextualization) ke dalam persoalan yang berkaitan dengan kondisi dan kultur Indonesia, atau yang berkaitan dengan ketertarikan dan pemahaman personal masing-masing seniman. Dari sinilah maka muncul karya-karya para seniman yang secara visual memberikan tafsir atau pembacaan atas tema “Silk Road” dengan berbagai variasi tafsirannya.

Tafsir, atau pembacaan visual atas tema “Silk Road” ini, saya kira, bisa beragam, dan keberagaman tersebut justru akan memberikan pengayaan atas tema tersebut. Jalan sutera dalam konteks pemahaman seniman Indonesia yang sejarah kebudayaannya berbeda, tentu akan memiliki titik diferensiasi dengan pemahaman seniman dari Tiongkok sendiri, atau dari kawasan/negara lain yang masih satu benua, atau apalagi bila dibandingkan dengan seniman dari lain benua.

Djuwidja, Unity in Diversity, acrylic on canvas, 250x140cm, 2016_(Dok. ICAA)
Djuwidja, Unity in Diversity, acrylic on canvas, 250x140cm, 2016_(Dok. ICAA)

Dari pembacaan sebagai kurator pada pameran di Paviliun Indonesia ini, saya mendapati beragamnya tafsir visual dan konten dari karya para seniman Indonesia ketika disodori tema “Silk Road”. Ada seniman yang kembali merunuti rute jalan sutera yang telah terjadi berabad-abad lalu itu, dengan tafsir yang disesuaikan dengan menampilkan figur candi Bentar.

Dalam sejarah, candi Bentar dibuat pertama kali pada jaman kerajaan Majapahit (1293-1500 Masehi). Pada perkembangannya, candi ini disebut sebagai “candi terbelah”, dan banyak diposisikan sebagai semacam pintu gerbang utama untuk memberi batas antara bagian terluar dan bagian dalam sebuah kawasan atau lingkungan. Replika candi atau gerbang seperti ini masih banyak terlihat di kawasan Jawa Timur, Bali dan Lombok.

Lukisan karya Yince ini seperti memberi pemaknaan atas spirit jalan sutera bahwa negara seperti Indonesia juga telah lama mempraktikkan jalan sutera dengan skala dan sesuai kondisi Indonesia. Artinya, candi Bentar menjadi simbol untuk menerima datangnya pengaruh dari luar, dan sekaligus menyilakan orang Indonesia sendiri pergi ke luar untuk berbagai kepentingan.

Ada pula seniman yang kembali mengulik ingatan personalnya dalam menatap negeri Tiongkok dengan identitas fisik yang dianggapnya relatif sangat ikonik. Ini terlihat pada karya Camelia Hasibuan yang menggarap tema fauna panda sebagai subject matter atas karyanya. Camelia menganggap bahwa hewan panda sebagai simbol yang identik dengan Tiongkok, sekaligus simbol tentang keindahan dalam “kebesaran”. Bagaimanapun juga, orang tetap diingatkan pada sosok hewan beruang yang besar, liar, dan menakutkan. Namun panda yang masih satu spesies dengan beruang bisa memberi gambaran berbeda ketika manusia menghadapinya.

Gambaran tentang sejarah hubungan antara Tiongkok dan Indonesia juga memberi tambahan referensi atas ingatan para seniman dalam menyikapi tema “Silk Road”. Bagi seniman Bali atau yang kini tinggal di Bali, misalnya, tema ini membuka ingatan mereka tentang hubungan antara Bali dan Tiongkok yang telah terjadi mulai dinasti Tang (618-906 Masehi), yang diteruskan dinasti Chung atau Song (960-995 Masehi), zaman kekuasaan dinasti Genghis Khan (1162-1227 Masehi) dan cucunya, Kubilai Khan (1215-1294 Masehi) saat Beijing dibuka untuk mengawali “Silk Road”. Sejak lama—seperti yang diceritakan oleh sejarawan Jerman, Berthold Laufer—bahwa para pedagang dari daratan Tiongkok telah akrab dengan pulau indah di sebelah selatan Borneo atau Kalimantan, yang bernama P’oli. Diduga kuat, itu maksudnya adalah pulau Bali.

Seniman yang tinggal di Bali, Chusin Setiadikara seperti menatap kembali sejarah panjang hubungan Bali-Tiongkok. Dan tema-tema tentang masa lalu yang digali kembali dari lukisan klasik Bali, terasa cukup mewakili untuk digambarkan kembali. Yakni tentang pedagang ikan di pasar dan lainnya. Tema tersebut sederhana tapi menarik, dan dibayangkan oleh Chusin bahwa praktik seperti itulah yang terjadi ketika para pedagang Tiongkok datang ke Bali, atau ke wilayah lain di Indonesia.

Sementara bagi Nasirun, akulturasi kebudayaan telah terjadi lewat praktik jalan sutera yang berlangsung lama, berabad-abad. Akulturasi itu antara lain mengayakan kebudayaan Nusantara atau Indonesia dengan masuknya Budhisme, Hindhuisme, bahkan Islam, dan Kristiani. Nusantara mewarisi kekayaan alam dan hasil akulturasi, antara lain lewat jalan sutera. Bagi Nasirun, tema “Silk Road” sangat menarik dan ini akan memberi warna lain pada Biennale Beijing sebagai salah satu kekuatan bienial dunia.

Nyoman Nuarta, Legenda Borobudur III. (Dok. ICAA)
Nyoman Nuarta, Legenda Borobudur III. (Dok. ICAA)

Pada sisi yang lain, seniman senior Nyoman Nuarta menggagas tentang candi Borobudur yang khas, orisinal Indonesia. Borobudur merupakan warisan budaya yang dibuat pada abad 8-11 Masehi, dan bernilai tinggi. Bisa jadi, ini adalah hasil dari perluasan “proyek jalan sutera” dalam pengertian yang lebih luas dari aslinya. Indonesia akan sangat kehilangan bila candi Budha terbesar di dunia ini lenyap atau rusak. Inilah bayangan ketakutan Nuarta atas Borobudur. Maka candi itu dibuat seperti melayang, seolah dibayangkan akan menguap bila tidak dirawat. Inilah kekhawatiran sekaligus apresiasi Nuarta pada Borobudur.

Para seniman yang terseleksi masuk dalam Paviliun Indonesia ini, setidaknya dapat dikelompokkan dalam tiga cakupan. Pertama, para seniman senior dalam hal usia dan perjalanan kreatifnya. Mereka telah memiliki reputasi yang baik (bahkan cemerlang) di level nasional, bahkan telah menaik di panggung global. Pada kelompok ini ada nama-nama seperti Made Wianta, Nyoman Nuarta, Ivan Sagita, Chusin Setiadikara, Mangu Putra, Nasirun, dan Sigit Santosa. Bangunan reputasi mereka selama ini telah memberi warna bagi dinamika perjalanan seni rupa di Indonesia.

Kedua, para seniman telah sekian lama membangun reputasi kesenimanannya dengan kukuh dan dengan pilihan keratifnya yang khas. Kelompok ini, dalam hal reputasi dan pencapaian, belum seperti kelompok senior di atas, namun telah melampaui masa-masa sebagai seniman yunior. Kelompok ini hadir setelah meredupnya gerakan-gerakan seni rupa di Indonesia. Para seniman ini adalah Joni Ramlan, Januri, Paramahita Made Gede, I Putu Edi Asmara, Erizal.

Sedangkan ketiga, adalah kelompok para seniman muda—baik muda dalam pengertian usia biologis, maupun muda karena belum lamanya mereka masuk dalam pusaran dan peta seni rupa. Para seniman ini, dengan berbagai cara, tengah membangun reputasi, pencapaian, dan prestasi. Di kelompok ini ada Camelia Hasibuan, Gatot Indrajati, Johan Abe, Yince Djuwudja, dan Ugy Sugiarto. Pemahaman tentang muda atau yunior ini tak bisa secara otomatis dikaitkan dengan problem kualitas karya. Apalagi, dalam konteks pameran BIAB kali ini, karya-karya mereka nyaris sulit dikategorikan “muda” dalam pencapaian artistik dan estetika karyanya.

Ketiga kelompok tersebut sekadar “kurungan” yang tidak sangat mengikat dalam tinjauan akademis, karena masing-masing seniman dalam ketiga kelompok tersebut bisa “ulang-alik” menempati pilahan kelompok yang berbeda. Sudah barang pasti, semua seniman dalam ketiga kelompok tersebut masing-masing memiliki kekuatan yang sangat bisa diandalkan. Semuanya adalah salah satu irisan kecil kekuatan seni rupa Indonesia saat ini. BIAB sangat beruntung bisa menjadi saksi atas kekuatan kreatif para seniman Indonesia ini.

Kuss Indarto, kurator Beijing International Art Biennale 2017.