Senyum Tujuh Presiden di DPR

0
6787
Karya Yayat Surya yang menampilkan tujuh figur presiden Indonesia di Pameran Kepada Republik #4. (Dok. Dhamarista Intan)

Seni rupa kembali dibawa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ke ruang pemerintahan untuk kali keempat. Mengambil tajuk “Kepada Republik #4: Seni, Politik dan Polemik”, pameran ini menampilkan karya dari 17 seniman yang sekaligus menandai kemerdekaan Indonesia.

Mereka yang terlibat dalam pameran ini adalah AT. Sitompul, Aming Prayitno, Agus Putu Suyadnya, Ary Kurniawan, Dede Eri Supria, Edo Pilliang, Laksmi Shitaresmi, Mahdi Abdullah, Maslihar, Nugroho Heri Cahyono, Priyaris Munandar, Rangga Anugrah Putra, Soni Irawan, Tri Susilo, Yayat Surya, Yoes Rizal, dan Yoyok Sahaja.

Meski terdengar asing, pameran yang dihelat DPR RI ini ternyata sudah berlangsung sejak 2015 dan selalu diselenggarakan pada bulan kemerdekaan Indonesia. Dio Pamola, yang sejak awal dipercaya menjadi kurator menuturkan tentang peran pameran ini yang menjembatani pemerintah dan seni rupa.

“Ketika pameran di mall atau Art Stage, Art Jakarta, Art Jog, kan memang suasana pasar yang sudah paham dengan seni. Nah ini kan orang-orang yang jarang ngeliat karya seni, jadi seperti menaikkan level apresiasi, itu yang sulit.”

 

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama Pimpinan DPR dan duta besar negara-negara sahabat di Pameran "Kepada Republik #4: Seni, Politik dan Polemik” (Dok. Humas DPR)
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama Pimpinan DPR dan duta besar negara-negara sahabat di Pameran “Kepada Republik #4: Seni, Politik dan Polemik” (Dok. Humas DPR)

Berbicara tentang seni, politik, dan polemik yang diangkat ke judul pameran, Dio yang juga mengajar Pendidikan Seni Rupa di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta  ini menuliskan dalam kuratorialnya bahwa seni dan politik sejatinya saling berkelindan. Terkadang, polemiklah yang menyatukan keduanya.

“Seni mengabadikan fenomena politik sebagai narasi artistik yang apik. Seni memanfaatkan isu politik untuk berkembang, menyebar, dan menancapkan faham-faham estetis.”

Sedangkan di sisi lain, politik juga menggandeng seni rupa dan perkembangannya seperti lewat ilustrasi digital, meme, atau foto yang semakin cepat persebarannya di ranah daring.

“Dengan semakin meningkatnya pencapaian intelektual (teknologi), hubungan erat seni dan politik semakin nampak jelas. Seni berada pada kapasitasnya sendiri sebagai ilustrasi dari situasi dan pemikiran-pemikiran terhadap kubu-kubu politik.”

 

Tujuh Presiden Indonesia Tersenyum

Lukisan sepanjang empat meter yang dipajang di ruang pamer temporer di Lobi Gedung Nusantara DPR RI begitu mencolok di antara ruangan yang berwarna kelabu. Penyebabnya mungkin kehadiran figur tujuh sosok presiden RI dari masa ke masa yang tampak tersenyum, menggoda bagi yang lewat.

Yayat Surya, Setelah Pembangkitan Besar (After Guernica), 2018, akrilik pada kanvas, 200cm x 400 cm (Dok. Seniman)
Yayat Surya, Setelah Pembangkitan Besar (After Guernica), 2018, akrilik pada kanvas, 200cm x 400 cm (Dok. Seniman)

“Setelah Pembangkitan Besar (After Guernica)” adalah judul yang digunakan Yayat Surya, seniman di balik lukisan tersebut. Di dalam lukisannya, tujuh presiden tampak bahagia berdiri di depan karya “Guernicamilik Picasso yang menceritakan tragedi Spanyol dan menjadi simbol anti perang. Lewat gaya yang ironi, Yayat membandingkan tragedi yang dituangkan Picasso tersebut dengan tragedi yang terjadi di Tanah Air.

“Saya buat suasana tersenyum, dengan background masterpiece Picasso. Sejarah kelam Spanyol, kompleks, semacam krisis politik. Yang kelam itu perjalanan yang menggambarkan masalah komunisme, genosida, perang saudara, dan ketujuh presiden tersebut juga tidak luput dari itu. Lukisan Guernica jadi pembanding dengan sejarah masing-masing presiden,” ujar Yayat.

 

Polemik dan Seni

Sementara itu, “Seni, Politik, dan Polemik” dipilih untuk merespons situasi politik yang kian memanas menjelang pilpres di 2019. Polemik-polemik pun bermunculan terutama yang berkaitan dengan agama dan politik, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, judul ini diangkat untuk memberikan pandangan alternatif terhadap politik di Indonesia.

“Politik kan seperti barang tabu, jadi saya ingin membuka dan mengemasnya lebih kasual, apalagi jika aspirasi seniman juga dapat didengar di DPR,” ujar Dio.

Di samping itu, Dio juga mengungkapkan bahwa tidak mudah untuk mengajak para seniman berpameran di DPR, terlebih lagi dengan tema politik. Tantangan ini tidak menyurutkan langkahnya, alhasil 17 karya mampu dikurasi ke dalam pameran. Sementara itu, pameran ini menjadi yang keempat setelah pada tahun-tahun sebelumnya selalu digelar untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan.

Seri karya Refleksi dari Edo Pilliang (Dok. Dhamarista Intan)
Seri karya Refleksi dari Edo Pilliang (Dok. Dhamarista Intan)

“Selain ingin meningkatkan tingkat apresiasi pemerintah terhadap seni, saya juga ingin menunjukkan kepada pemerintah bahwa berbagai isu dapat ditanggapi dengan seni secara realis dan kontemporer.”

Sayangnya, pameran ini hanya berlangsung selama tiga hari, yakni dari 29—31 Agustus 2018. Padahal, pameran ini ditujukan pula untuk publik, bukan warga DPR semata. Meski demikian, ada baiknya jika kita juga memulai mengapresiasi usaha pemerintah untuk meningkatkan kesadaran terhadap seni.

“Setidaknya kita bangga lah sebagai orang-orang seni rupa, ada support gini kan jadinya lebih meriah. Kalau membaca sejarah, pimpinan, orang-orang politik kan men-support seni dan bekerja sama dengan seni [meski] untuk kepentingan yang lain,” tutup Dio.