Sunaryo (kiri) dan Duta Besar Perancis Jean-Charles Berthonnet (kanan) (Foto: Dok. WOT Batu)

Untuk dedikasi dan sumbangsihnya pada dunia seni Indonesia dan internasional seniman Sunaryo mendapat anugerah lencana “Chevalier dans l’ordre des arts et letters” dalam bidang seni dan sastra oleh Menteri Kebudayaan Perancis Fleur Pellerin yang diwakilkan oleh Duta Besar Republik Perancis Jean-Charles Berthonnet pada Sabtu (21/10) kemarin bertempat di WOT Batu, Jalan Bukit Pakar Timur Ciburial, Bandung.

Sunaryo menjadi orang Indonesia keempat yang mendapat penghargaan serupa setelah Garin Nugroho (2016), Anggun (2005) dan Guruh Sukarnoputra (1991).

Berdiri sejak 1995, Selasar Sunaryo sejak lama menjadi wadah buat seniman-seniman Indonesia berkarya dan menuangkan imajinasinya. Tak hanya itu, ada banyak kolaborasi dengan seniman luar yang berlangsung di sini. Untuk seniman Perancis sendiri ada Tatiana Trouve, Jean-Michel Othoniel, Kubilai Khan dan Francoise Huguier.

Baca juga Masa Depan Ingatan

20 tahun kemudian, Sunaryo mendirikan WOT Batu sebagai ruang untuk manusia merenung dan menemukan keseimbangannya. WOT Batu ini juga menjadi tempat dimana dialog-dialog nonverbal dikemukakan.

WOT Batu sebagai ruang untuk berkontemplasi (Foto: Jacky Rachmansyah)
WOT Batu sebagai ruang untuk berkontemplasi (Foto: Jacky Rachmansyah)

Sunaryo menjadikan WOT Batu sebagai ruang antimaterial, dimana yang kita pikirkan di sini adalah hal-hal yang bersifat spiritual namun tidak mengambang. Bagaimana manusia pada hakikatnya akan kembali kepada pencipta dan meninggalkan keduniawiannya.

Keseimbangan dalam hidup yang penting untuk selalu dijaga karena semesta memang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan melengkapi. Di awal menginjakkan kaki di WOT Batu, Sunaryo sudah menegaskan hal tersebut.

Sebagaimana batu lingga yang melengkapi batu yoni, batu langit yang melengkapi batu bumi, manusia juga pada akhirnya mati. Karena seperti hal yang lainnya kematian akan melengkapi kehidupan.

Sunaryo tidak meluputkan hal yang sifatnya logika. Ini dituangkannya dalam 10 batu yang disusun menumpuk, meninggi yang nyaris jatuh tapi tidak jatuh. Sejatinya 10 batu menunjukkan wujud material sedangkan keyakinan kalau batu tersebut tidak jatuh adalah hal nonmaterial yang tidak tampak namun ada.

Batu sepuluh yang terinspirasi dari
Batu sepuluh yang terinspirasi dari “Sepuluh Perintah Tuhan” dalam ajaran agama Kristen (Foto: Jacky Rachmansyah)

Melengkapi perwujudan keseimbangan yang dituangkan Sunaryo lewat WOT Batu, ada cerita mengenai kenangan. Sunaryo melambangkannya lewat Pohon Batu Indung yang sebelumnya adalah pohon jambu yang ditanam Sunaryo untuk sang ibu. Sayang, sebelum pohon berbuah ibunya sudah dipanggil Yang Kuasa.

Baca juga Kau Boleh Membaca Al-Quranmu Tapi Aku Tetap Bisa Setia dengan Paulo Coelhoku kan?

Seolah Sunaryo mengingatkan kenangan akan selalu ada pada dua sisi; imajinasi dan fisik. Sebelum menjadi kenangan, kita berinteraksi dengan peristiwa tersebut namun setelah menjelma menjadi memori yang ada hanya imajinasi untuk mengenang yang sudah tidak ada.