Seniman-seniman yang tergabung dalam Asosiasi Pematung Indonesia (API) Jakarta mengadakan pameran yang memperlihatkan pengolahan materi, konsep, dan respon terhadap situasi sosial politik.
Sebuah instalasi berdiri menjulang tinggi di dekat Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Karya instalasi dari kelompok 12PAS tersebut berupa susunan rangka besi berbentuk kubus. Di pucuknya dipasang dua kincir yang berputar terus oleh embusan angin. Di belakang kincir dirangkai pelat besi dan pemukul yang terpasang pada sumbu kincir.
Dengan pengaturan interval putaran yang berbeda, maka setiap putaran pada kincir menghasilkan bunyi beragam dari pemukul dan pelat besi. Sementara di bawahnya menjulur kain putih yang ditata sedemikiran rupa mengisi kekosongan ruang. Suara dari dua kitiran dan kain putih itu menyambut setiap audiens yang hendak masuk ke dalam ruang pamer. Karya itu berjudul Gaung ukuran 6 x 6 x 6 meter (2013).
“Karya Gaung dengan suara-suara yang dihasilkan sebagai upaya menangkap maksud pameran untuk meneguhkan sikap dan konsistensi para pematung yang ikut dalam pameran ini,” kata Jack S Riyadi dari kelompok 12Pas.
Bertajuk TraX.13, pameran ini berlangsung 1-15 November 2013 dengan kurasi oleh Benny Ronald Tahalele. Pameran ini diselenggarakan Asosiasi Pematung Indonesia (API) Jakarta bekerja sama dengan PKJ-TIM. Seniman yang berperan serta tidak hanya dari Jakarta, tetapi ada yang berasal dari Yogyakarta dan Bandung.
Selain di luar Galeri Cipta II, karya-karya patung dari API memenuhi bagian dalam ruang galeri dengan penataan menarik. Ruang pamer dibagi dua dengan semacam pembatas di bagian tengah berupa karya-karya patung yang cenderung horizontal. Pemandangan di dalam pameran itu tampak melandai di tengah dan sisi kanan-kiri dipajang karya-karya yang vertikal.
Karya horizontal itu berjudul Oracle karya seniman muda lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), Gabriel Aris. Semenjak 2011, Gabriel fokus pada rel dan bantalannya. Dalam konsepnya, rel digambarkan tidak memiliki ujung alias membentuk lingkaran. Karya berdiameter 300 cm itu mengesankan pada pusaran yang tidak pernah selesai.
Di sayap kiri kita akan mendapati patung bayi putih bersih dalam ukuran normal yang dipajang di dinding yang telah dipasang kain hitam. Kontras hitam-putih ini memunculkan perhatian sekalipun ukurannya tidak besar dan diletakkan di sudut. Karya berjudul SUCI kah? dengan pose disalib mempresentasikan wujud bayi sebagai materi inkubator dari rahim perampuan. Karya Ali Robin tahun 2011 ini mengkritik perempuan masa kini yang cenderung melupakan fungsi alamiah rahimnya.
Di sudut kiri dalam ruang pamer, karya Hardiman Radjab berbentuk koper digantung setinggi 1,5 meter dalam posisi miring cukup menarik perhatian pengunjung. Di dalam karya instalasi berjudul Remember “Drive Inn” (2013) ini tampak berjajar mobil-mobil mini menghadap monitor komputer yang tengah menampilkan sebuah potongan film dengan diiringi musik-musik populer di tahun 70-an.
Selintas, karya instalasi ini mengajak para pengunjung untuk kembali mengenang kejayaan salah satu jenis hiburan rakyat yang dikenal dengan sebutan layar tancap atau bioskop keliling. Hardiman pun mempersilakan para pengunjung merasakan sensasi menonton film dari balik kaca mobil dengan menyaksikan langsung adegan film di monitor melalui sebuah lubang kecil di sisi kanan koper.
Lain lagi dengan karya Benny Messa. Ia bemain dengan terakota. Karyanya yang diberi judul Awas Ati-Ati dengan ukuran 80x23x13 cm (2013) itu berbentuk alat skateboard lengkap dengan empat roda di keempat sisi bawahnya.
Hanya saja papan selancar itu retak-retak di sekujur punggungnya, apalagi materi yang digunakan dari terakota. Cukup menyentil karya Benny.
Karya menarik lainnya datang dari Arsono. Perupa senior yang akrab dengan bahan logam tersebut menampilkan karya berjudul Bahtera #2 dengan tinggi 230 cm (2013). Karya ini cukup konseptual dengan gaya abstraknya. Pengerjaannya cukup rapi dan detail-detail las terlihat jelas.
Karena penggarapannya cukup matang, las itu tidak mengganggu justru mendukung kesatuan karyanya. Besi melengkung ia biarkan dengan bekas-bekas karatnya. Di tengah lengkungan itu dipasang besi yang memantulkan selayaknya cermin dalam beragam ukuran dengan pemasangan beragam pula.
Muncul kesan irama dari penataan itu di tengah lengkungan besi yang kukuh, kuat, dan pasti. Karya ini mampu membebaskan bahan logam yang cenderung absolut dengan penampilan yang dinamik.
Tidak semua 40 karya yang dipamerkan cenderung konseptual. Sebagian lainnya merespon kondisi sosial-politik saat ini. Salah satunya karya Agus Widodo yang berjudul Balada Selompret KPK (2013). Karya berbahan fiber ini dibuat pada 2013 sebagai tanggapan atas riuh rendahnya kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK.
Kasus ini banyak membuat masyarakat begidik dan jijik oleh perilaku korup kalangan pejabat. KPK menjadi satu-satunya harapan sebagaimana diungkap karya Agus yang berwujud orang tengah menip selompret dan di depannya tikus-tikus bergelimang dengan uang.
“Pameran ini membebaskan para pematungnya untuk mengekspresikan segala kreativitasnya. Tidak ada tuntutan dari pihak penyelenggara maupun kurator. Totalitas berkarya yang ditekankan dalam pameran ini,” ungkap Budi L Tobing dari Asosiasi Pematung Indonesia cabang Jakarta selaku penyelenggara.