Peserta forum yang hadir cukup berkualitas. Sayang diskusi berjalan ‘biasa-biasa’ saja.
Untuk pertama kali sejak diresmikan pada tahun 2006 di Beijing-China, Indonesia menjadi Negara tuan rumah pertemuan tahunan bagi para Kepala/Direktur Museum Seni Rupa di seluruh Asia – Asian Art Museum Director Forum (AAMDF) 2013. Parhelatan akbar yang berlangsung pada 13-17 November 2013 ini, dihadiri setidaknya oleh 10 negara ASEAN dan 12 negara Asia di luar ASEAN.
Total peserta forum yang diundang kurang lebih mencapai 250 orang, terdiri dari perwakilan Negara-negara peserta AAMDF; perwakilan lembaga/Museum Seni Rupa Internasional; Lembaga/Museum/Galeri Seni Rupa Nasional (Indonesia); seniman; kurator; dan pengamat seni rupa dari berbagai negara.
Antara lain; (ASEAN) Malaysia – Brunei Darussalam – Thailand – Filiphina – Singapura – Vietnam – Myanmar – Kamboja – dan Laos. Selain itu, hadir pula perwakilan dari China – Jepang – Korea Selatan – India – Bangladesh – Pakistan – Mongolia – Kazakhstan – Makau – Taiwan – Hongkong – dan Australia. Namun sayang, Filiphina dan Myanmar tak dapat mengirimkan perwakilannya akibat bencana alam besar yang baru saja melanda masing-masing kawasan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia (GNI) menjadi penyelenggara tunggal dalam forum internasional yang mengangkat tema ‘On Collection: Asian Contents’ itu. Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus Sukmana Andre mengatakan, tema tersebut dipilih berdasarkan pengamatan dunia atas perkembangan seni rupa Asia yang dalam beberapa dekade terakhir berkembang sangat pesat. Begitu pula dengan pertumbuhan infrastruktur seni rupa di masing-masing Negara yang tumbuh dengan cepat.
“Melalui parhelatan ini, diharapkan Indonesia dan seluruh negara peserta bisa mengambil pembelajaran dari berbagai proses diskusi dan pertukaran pengalaman serta gagasan,” kata Tubagus Andre.
Museum sebagai salah satu stakeholder penting dalam infrastruktur seni rupa, diharapkan mampu mengimbangi perkembangan seni rupa global yang masih berusia sangat muda itu. Di beberapa Negara seperti Cina dan Jepang, museum tumbuh dengan subur. Di China, misalnya, kini memiliki lebih dari 6.000 museum nasional (2012) dengan jumlah pengunjung mencapai 500 juta orang per tahunnya. Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah sistem operasional yang kuat, kejelasan program kerja, didukung oleh staf yang benar-benar memahami kerja dan fungsi museum.
“Pemerintah dan masyarakat China, sejak lama menyadari pentingnya arti museum. Masyarakat begitu mencintai museum-museum yang kami miliki. Bahkan, di awal tahun 2013 lalu, pemerintah China telah mengalokasikan dana khusus untuk mempromosikan, melindungi, menambah, dan memamerkan koleksi-koleksi museumnya,”kata Zhu Di, Kepala Departemen Seni Rupa dari Kementerian Kebudayaan Republik Rakyat Cina (RRC), sekaligus secretariat AAMDF dalam pidato pembukaannya di Jakarta, Rabu (13/11) lalu.
Mereka bahkan mengembangkan dan menerapkan teknologi khusus untuk melindungi seluruh koleksi karya-karya seninya. “Identitas sebuah Negara bisa dilihat dari bagaimana mereka menghargai, menjaga, melestarikan, dan mempertahankan seni budaya yang ada. Melalui museum seluruh proses tersebut bisa berjalan,”kata Zhu Di.
Sayangnya, tak seluruh diskusi kaya informasi. Hal-hal penting seperti strategi dalam menjalankan dan mempertahankan “kehidupan” sebuah museum tak banyak diulas. Begitu pula dengan sistem keamanan museum yang belakangan banyak diperbincangkan paska ‘tragedi’ hilangnya sejumlah koleksi Museum Nasional Indonesia. Informasi yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh museum-museum di Indonesia.
Namun, satu hal yang pasti adalah forum ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia atas kondisi museum Indonesia yang cukup miris. Tingginya dukungan pemerintah sejumlah Negara sahabat terhadap pertumbuhan dan perkembangan museum-museum di negaranya tidak saja terlihat dalam pengalokasian dana yang besar. Namun juga dukungan pada program-program kerja museum lainnya seperti membantu museum secara diplomasi untuk mendapatkan koleksi-koleksi khusus yang dimiliki Negara lain ataupun instansi tertentu.
Di Indonesia, fenomena yang terlihat justru tumbuh suburnya museum-museum pribadi. Museum-museum nasional yang dikelola Negara, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sayangnya, tak seluruh museum dioperasikan sesuai dengan fungsinya. Anggaran yang dikucurkan disebut cukup tinggi, namun tak dimanfaatkan dengan efektif bahkan terkesan salah pos.
Jumlah koleksi baru yang dimiliki museum nasional dalam setahun sangat sedikit atau bahkan lebih sering tidak ada. kebutuan atas kesediaan sumber daya manusia juga menjadi hambatan. Pemerintah melalui Kemendikbud, tak cukup ‘pintar’ untuk memancing minat pemuda-pemuda Indonesia untuk menekuni bidang manajemen permuseuman.
Yah pada intinya, kejanggalan infrastruktur seni rupa di Indonesia akhirnya mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan seni itu sendiri. Diskusi semacam AAMDF sah-sah saja dilakukan. Namun, yang dibutuhkan saat ini adalah eksekusi yang cepat agar Indonesia tak tertinggal jauh dari Negara tetangga seperti Malaysia. Informasi-informasi yang didapatkan dari diskusi bertaraf internasional itu atau pun kunjungan langsung sejumlah pejabat terkait ke berbagai museum di negara-negara sahabat, tidak saja menjadi pengetahuan terbatas individu tapi dapat diketahui pihak lainnya dan diaplikasikan.