Para seniman muda di Bandung, berkumpul dalam sebuah pameran seni rupa kontemporer di sejumlah galeri. Sebuah upaya untuk menghidupkan kembali kreativitas seniman muda tanpa harus terikat dengan kelembagaan.
Setelah sekian lama boom seni rupa pada 2006 usai, tidak ada lagi peristiwa signifikan dalam seni rupa Indonesia, khususnya dari Bandung. Seni rupa kontemporer seolah lesu dan tidak ada semangat dalam berkarya dengan ide-ide bernas. Seakan isu seni rupa kontemporer tersaput isu pasar yang kini juga meredup.
Di tengah ketidakmenentuan tersebut diselenggarakan Pameran Seni Rupa Bandung Kontemporer yang terbagi di beberapa tempat pameran, di antaranya Rumah Seni Sarasvati, Selasar Sunaryo, Lawangwangi Creative Space, Galeri Gerilya, Galeri Hidayat, Kamones Gallery, Istitut Francais Indonesia (IFI), dan Platform 3.
Salah satu pameran menarik berlangsung di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space dari 20 Oktober hingga 12 November 2013, yang diikuti 13 seniman muda di Bandung dengan bermacam latar pendidikan seni berlangsung dengan kurator Sally Texania. Ketigabelas seniman tersebut adalah Adyatama Pranada, Ahmad Nursalim, Citra Kemala, Edward Bonaparte, Eldwin Pradipta, Irfan Hendrian, Jodi Setiawan, Maharani Mancanagara, Ratu Rizkitasari Saraswati, Risa Astrini, Sutra Djarot, Zaenal Abidin, dan Zusfa Roihan.
Peserta pameran ini tergolong masih berusia muda, di bawah usia 30 tahun. Para seniman ini berkreasi di Bandung di masa era setelah otoritas kelembagaan meluntur, baik kelembagaan seni maupun sosial. Karya-karya ke-13 perupa ini menunjukkan sesuatu yang signifikan jika dikaitkan dengan pekembangan kelembagaan seni, boom seni rupa tahun 2006, dan krisis ekonomi global yang terjadi pada 2008. Sally Texania memandang ketiga hal tersebut menjadikan generasi termuda dari seniman Bandung terbedakan dengan seniman-seniman sebelumnya. Ia mengatakan bahwa generasi termuda seniman Bandung telah terlepas dari kepentingan “perjuangan” untuk membentuk “kelembagaan” dan “kebakuan”.
Para generasi termuda seniman Bandung tidak lain generasi yang mesti dibedakan dengan generasi sebelumnya. Tentunya, penilaian terhadap karya-karya mereka dari komponen karya, nilai yang terserap dalam karya, dan pengaruh dalam karya mereka juga harus berbeda. Di sini dalam kaitannya dengan pameran dalam tema besar Bandung Contemporary Sally menyodorkan tajuk yang cukup provokatif “Seni Rupa Tanpa Gerakan” di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Arts Space.
Eldwin Pradipta menggunakan seni media baru dengan memadukan antara lukisan mooi indie atau dikenal luas sebagai Indonesia Molek dengan seni video. Lukisan indie mooi berasal dari Jelekong satu kawasan di kota Bandung yang dikenal memproduksi lukisan secara massal. Apabila dalam lukisan citraan alam yang indah dibekukan, Pradipta bersama ‘rekayasa’ videonya menciptakan pemandangan gunung yang meletus bergerak seakan keluar kanvas mengacak ‘kebekuan keindahan’ yang menjadi konstruksi ide mengenai alam Indonesia di masa kolonial Belanda.
Sementara dengan cara yang sama, Maharani Mancanagara membuat citraan figur polisi pemerintah Belanda yang bertugas dalam pengawasan sekolah dan implementasi kurikulum. Kisah ini diambilnya dari narasi buku harian kakeknya yang berkaitan dengan strategi kontrol imperialis yang diturunkan dalam sistem pendidikan.
Lain lagi karya Ratu Rizkitasari. Karyanya berupa video peformance yang mengetengahkan Rizki memasang kain pembatas pada sebuah caroussel di tempat umum yang sedang berputar. Pembatas itu berupa kain yang umumnya ada di mushola sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan. Karyanya mengemukakan bagaimana suatu batas dibentuk dan kadang dipaksakan pada individu berdasarkan konvensi masyarakat. Melalui performance ini Rizki seolah mencoba menciptakan otoritas individu untuk mengambil jarak dari tatapan orang banyak.
Dalam komposisi yang berfokus pada formal, Irfan Hendrian mengkombinasikan minatnya terhadap penggunaan grid dengan hierarki bentuk dan warna pada komposisi seni dua dimensional. Ketimbang menggunakan cat, Irfan menggunakan lapisan kertas yang ditumpuk guna menghasilkan lapis bentuk dan warna tertentu dengan satu ‘sistem hierarki bentuk’ yang diformulasikannya melalui pertimbangan seni formal dan perhitungan matematika. Irfan Hendrian mengolah formal berdasarkan pemahamannya mengenai pola-pola formalis yang ditawarkan Barat.
Zusfa Roihan mengolah konvensi maupun nilai seni rupa modern dengan perkembangan yang dijumpai hari ini. Zusfa yang sebelumnya mengambil citraan dan runtutan formalisme seni rupa modern Indonesia, kini beralih pada berbagai citraan yang diperolehnya melalui pesawat mata-mata Amerika Serikat di masa perang dingin. Citraan ini ia tumpuk dengan gaya lukisan kelompok Junge Wilde, sebuah gerakan seni yang mengandung pesan anti-komunis di masa tegangan Jerman Timur dan Jerman Barat.
Gerakan tanpa gerakan yang dimaksudkan sang kurator dalam pameran ini tidak lain merupakan sesi baru seniman muda di Bandung. Mereka tidak lagi bersentuhan dengan otoritas sebagaimana seniman senior terdahulu yang mereka kenal lebih sebagai hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini kata kuncinya negosiasi, tawar-menawar, dan hasilnya sebuah karya dengan mempertimbangan berbagai materi, gagasan, dan tentu saja nilai.