Budi Kustarto, "Pemuda 2016 dan Burung-Burung", oil on canvas, 200 x 300 cm, 2016. (Foto: Hamada Mahaswara)

Biennale Jateng #1 2016 resmi dibuka pada Selasa, 1 November 2016 bertempat di Semarang Contemporary Art Gallery, Semarang oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Biennale Jateng akan berlangsung hingga 15 November 2016.

Pameran bertempat di empat lokasi di Kawasan Kota Lama, Semarang, yakni Gedung Monod Huis, Semarang Contemporary Art Gallery, Gedung Oudetrap, dan Gedung Perdagangan Perusahaan Negara yang saling berdekatan.

Pameran ini menampilkan 82 karya dari 82 seniman, yang menetap dan/atau lahir di area Jawa Tengah. Perupa yang mengikuti pameran ini di antaranya Agus Suwage, Entang Wiharso, Nindityo Adipurnomo, Pramuhendra, Deddy PAW, dan Budi Kustarto. Selain mengundang perupa kenamaan yang kini telah menjadi ikon, penyelenggara juga membuka open call application untuk menjaring keikutsertaan seniman-seniman daerah.

Biennale seni rupa Jawa Tengah pertama ini mengusung tema kuratorial “KRONOTOPOS” (CHRONOTOPOS) yang dikuratori Djuli Djatiprambudi, didampingi ko-kurator Rahman Athian. Tema ini dilatarbelakangi warisan budaya (cultural heritage) yang tersebar di kota Semarang dan kota-kota lain di Provinsi Jawa Tengah. Istilah kronotopos merupakan serapan dari bahasa Yunani yaitu chronos yang berarti waktu dan topos berarti tempat.

Agus Suwage,
Agus Suwage, “Man of The Year #4”, oil, silver, leaf on galvanized zinc, found object, 340 x 699 cm, 2011. (Foto: Hamada Mahaswara)

Kronotopos adalah suatu tanda hadirnya ikon budaya yang dikenal luas oleh masyarakat sebagai  landmark tempat mereka tinggal. Bangunan-bangunan semacam Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Kota Lama Semarang dapat menjadi titik masuk sekaligus inspirasi untuk dihadirkan ulang dalam tafsir visual yang kreatif.

“Diharapkan yang akan terjadi sesungguhnya dalam Biennale Jateng #1 adalah ‘reinterpretasi tentang imaji historis dan imaji geografis’ sekaligus dalam relasinya dengan artefak sejarah dalam lokus tertentu,” ungkap Athian.

“Seniman melalui tema kronotopos diharapkan dapat mengeksplorasinya melalui bahasa ungkapan yang mengunggulkan kecermatan pemilihan media, teknik, format, metafor, kekhasan bahasa ungkap, hingga kedalaman subject-matternya.”

Tony Jafar,
Tony Jafar, “Wooden Story”, obyek kayu campuran, 600 cm, 2016. (Foto: Hamada Mahaswara)

Sebagai sebuah pergelaran perdana, Biennale Jateng masih jauh dari kesan sempurna. Karya yang ditampilkan didominasi lukisan, dan tidak sedikit seniman yang kemudian menafsir kuratorial secara verbal dengan menggambar Candi Borobudur atau Lawang Sewu.

Banyak nama baru yang muncul pun tidak memberikan kosa rupa baru dari tema yang ditawarkan. Bagi Nindityo, idealnya karya yang hadir merespon ruang yang tersedia. “Sehingga karya-karya yang ada tidak sekadar menjadi tempelan dan mampu memahami konteks,” imbuhnya.

Sayangnya lagi, penataan karya dalam ruang pamer selain Semarang Contemporary Art Gallery kurang memanjakan mata. Di tiga gedung lain, pencahayaan ruangan dan karya sangat minim, bahkan cenderung gelap—sehingga pengunjung tidak dapat menikmati karya di sore-malam hari. Dengan konsep gallery hopping, tentu saja hal ini mengganggu aksesibilitas pengunjung.

Entang Wiharso,
Entang Wiharso, “Under The Island: Reclaim Paradise”, alumunium, coal, mixed media, 450 x 150 cm, 2016. (Foto: Hamada Mahaswara)

Namun demikian, pendekatan tim kurator untuk merevitalisasi Kawasan Kota Lama Semarang menjadi ruang pamer baru patut diapresiasi. Hal ini mengingat banyak bangunan yang kini telah lapuk dimakan usia dan tidak dipergunakan lagi.

Akhirnya, mengunjungi Biennale Jateng bukan melihat ajang seni rupa semata. Akan tetapi, juga menikmati landmark arsitektur Kawasan Kota Lama yang meski usang tapi masih menyisakan pesona dari kejayaan masa lampau.

Hamada Mahaswara—penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.