Hareanto Simatupang, "Nenek Nyuntil", 2013
Hareanto Simatupang,
Hareanto Simatupang, “Nenek Nyuntil”, 2013

Citra Basoeki Abdullah di pandangan generasi muda masih sebatas pelukis wanita cantik dan pemandangan indah.

Ikut menyemarakkan rangkaian Gerakan Nasional Cinta Museum 2013, Museum Basoeki Abdullah menggelar kompetisi lukis Basoeki Abdullah Art Award (BAAA) 2013. Sebanyak 108 pelukis berusia 15 – 25 tahun ikut serta dalam kompetisi ini. Namun, hanya 10 karya yang masuk nominasi dan tiga diantaranya terpilih sebagai karya terbaik.

Parhelatan yang baru pertama kali dilakukan ini, melibatkan dewan juri yang terdiri dari Agus Dermawan (Kritikus Seni); Yusuf Susilo Hartono (Pelukis dan Jurnalis Seni); Mikke Susanto (Kurator dan Pengajar ISI Yogyakarta); Aris Ibnu Dadodjat (pengamat museum); dan Nesther (pelukis).

Tiga karya terbaik yang terpilih adalah karya Hareanto Simatupang berjudul Nenek Nyuntil (oil on canvas, 100 cm x 100cm, 2013); Niko Wiratman dengan judul karya Desa Selo Setelah Letusan Dibalik Keindahan Gunung Merapi (oil on canvas, 100 cm x 100 cm, 2013); dan karya Camelia Mitasari berjudul  Indonesia Masih Molek (oil on canvas, 120 cm x 90 cm, 2013).

“Ketiga seniman muda yang menang dalam kompetisi ini memiliki keunikannya masing-masing dalam menginterpretasikan sosok Basoeki Abdullah dan karya-karyanya yang dikenal handal dalam melukis kemolekan Indonesia atau dikenal dengan istilah Mooi Indie,”kata Mikke dalam konferensi pers pengumuman pemenang Basoeki Abdullah Art Award 2013, di Museum Basoeki Abdullah – Jakarta.

Karya Hareanto (21) – mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Medan – misalnya, menggambarkan sosok wanita tua yang tengah nyutil / nginang sirih. Dewan juri menilai Hereanto mampu menginterpretasikan karya-karya Basoeki Abdullah yang selama ini terlupakan.

Menurut Mikke, Basoeki tidak melulu melukis wanita-wanita cantik, figure penting seperti petinggi berbagai Negara, maupun pemandangan indah yang selama ini dikenal masyarakat umum. Basoeki juga pernah menjadikan sosok orang pedesaan yang tengah beraktivitas sebagai objek lukisannya.

Nico Wiratma,
Nico Wiratma, “Desa Selo Setelah Letusan Dibalik Keindahan Gunung Merapi”, 2013

“Dalam beberapa karya, Basoeki pernah menggambar sosok nenek ataupun kakek dengan gesture tertentu dan teknik yang blur serta halus. Melalui karya Hareanto, kita tetap bisa melihat figure nenek yang tak jauh berbeda dengan cara pandang Basoeki dulu namun dengan metode close up,” kata Mikke.

Selain itu, teknis lukis Hareanto juga menjadi perhatian besar para dewan juri. Seperti yang dikatakan Mikke, diperlukan kesabaran dan ketelitian yang tinggi dalam melukis potret figure. Hal itu sangat bertolak belakang dengan sifat pelukis muda yang selalu ingin karyanya cepat selesai. “Saya sangat menghargai karyanya, karena lukisan ini harus dikerjakan dengan perlahan, sabar, warnanya tidak boleh melenceng, dan memperhatikan harmonisasinya. Inilah yang menjadikan karya ini memiliki nilai lebih,” ujarnya.

Penilaian serupa juga ditemukan pada karya Camelia – mahasiswi Fakultas Seni Rupa/ Seni Lukis ISI Yogyakarta dan masih berusia 20 tahun. Objek-objek lukisan dalam karyanya juga kerap menjadi objek ‘langganan’ Basoeki dalam melukis, seperti petani yang tengah membajak sawah dan sosok seorang penari bali. Sementara, kemunculan figure wayang golek mewakili hobbi sang pelukis istana yang gemar mengkoleksi wayang.

“Kontens lukisan Camelia sangat menarik. Melalui karyanya, ia mengatakan bahwa eksotika Indonesia saat ini hanya dapat ditonton dalam lukisan, tidak secara alamiah bisa dinikmati langsung, terutama terkait isu internasionalisasi kekayaan alam seperti kepulauan komodo yang berdampak kian terasingnya masyarakat Indonesia pada kekayaan negaranya sendiri,” dijabarkan Mikke.

Terakhir karya Niko Wiratma (22) – alumni Fakultas Senirupa Murni Universitas Kristen Maranatha, Bandung – menggambarkan kondisi sebuah desa yang seluruhnya tertutupi debu vulkanik usai meletusnya gunung Merapi beberapa tahun lalu. “Sangat mudah bagi pengunjung menarik garis merah antara karya Niko dengan Basoeki. Gunung Merapi merupakan salah satu objek yang kerap dilukis Basoeki Abdullah untuk tema pemandangan Indonesia,”kata Mikke.

Namun, pengunjung juga dapat dengan jelas melihat perbedaan cara pandang kedua pelukis dalam menampilkan keindahan sekaligus realitas gunung Merapi. “Jika Merapi karya Basoeki selalu terlihat indah, maka Niko menampilkan keindahan yang berbeda. Tapi, tema ini justru kian mendekatkan para pelukis muda ini dengan sosok Basoeki Abdullah,”katanya.

Camelia Mitasari,
Camelia Mitasari, “Indonesia Masih Molek”, 2013

Sosok Basoeki yang Tersembunyi

Ada kesimpulan menarik yang ditarik para dewan juri saat menilai 120 karya yang diterima. Sebagian besar penggambaran generasi muda akan sosok Basoeki hanya terbatas pada ‘kejeniusannya’ dalam menggambar potret diri maupun figure penting, perempuan-perempuan cantik, dan juga pemandangan Indonesia nan molek.

“Apa yang dilukis para seniman muda ini hanyalah bagian kecil dari sosok Basoeki Abdullah sesungguhnya. Ia bukan hanya seorang pelukis mooi indie seperti yang digambarkan S. Sudjojono,”kata Mikke. Misalnya, tentang gaya melukis Basoeki yang diperiode tertentu pernah mencoba menggambar abstrak. Karya-karyanya itu sekarang menjadi koleksi pribadi sejumlah kolektor ternama di Indonesia. Namun, tidak pernah dimunculkan ke muka umum.

Selain itu, sosok nasionalis Basoeki, hubungannya dengan pelopor kemerdekaan Indonesia – Presiden Soekarno, dan hubungan elitnya dengan sejumlah petinggi Negara juga jarang menjadi tajuk utama diskusi. “Termasuk sikap humoris, keluguan, dan keterbukaan Basoeki yang sangat dikenal orang-orang terdekatnya,”jabar Mikke.

Lalu, siapa yang disalahkan dari kealpaan para generasi muda akan sosok penting dalam perjalanan seni rupa di Indonesia ini? Apakah Sudjojono, yang ‘mengecap’ sosok Basoeki dengan identitas “pelukis akhir mooi indie”? Atau ketidakmampuan pemerintah khususnya Museum Basoeki Abdullah dalam mendekatkan sosok Basoeki ke masyarakat luas.

Yusuf Susilo mengatakan, mengelola sebuah museum khusus seperti Museum Basoeki Abdullah bukanlah perkara mudah. Diperlukan dukungan ekstra dari berbagai pihak dan kerja keras untuk mendekatkan masyarakat terhadap sosok pelukis maestro ini. “Kompetisi menjadi amat penting sebagai bagian dari upaya itu. Tentu diiringi juga dengan upaya lain seperti pameran dan diskusi tentang sosok pelukis ini,”katanya.

(ka-ki): Yusuf Susilo, Nesther, Mikke Susanto, Aris Ibnu D. Hareanto, dan Joko Madsono (Kepala Museum Basoeki Abdullah), dalam konferensi pers pengumuman seniman muda terbaik yang meraih Basoeki Art Award 2013
(ka-ki): Yusuf Susilo, Nesther, Mikke Susanto, Aris Ibnu D. Hareanto, dan Joko Madsono (Kepala Museum Basoeki Abdullah), dalam konferensi pers pengumuman seniman muda terbaik yang meraih Basoeki Art Award 2013