Gambar kerap digunakan sebagai langkah awal sebelum seorang seniman membuat karya jadi berupa lukisan atau desain produk. Hal tersebut menjadikan gambar sering dimarjinalkan pada awalnya. Barulah setelah era modern datang, seniman-seniman modern tersebut mulai menjadikan gambar sebagai bagian karya, bukan sekedar perencanaan.
Hal tersebut banyak dibicarakan dalam kegiatan Artist Talk dengan empat orang seniman, Gilang Nuari, Kara Andarini, Rega Ayundya, Rishma Riyasa, pada rangkaian acara Fever Pitch di Galeri Serrum, Jumat, 6 Maret lalu. Dengan menghadirkan penanggap, Yuka Dian Narendra, para seniman, kurator, dan semua yang datang diberi kesempatan diskusi terbuka.
Fever Pitch sendiri adalah ungkapan dalam bahasa Inggris untuk mendeskripsikan keadaan atau perasaan gembira yang biasanya diikuti oleh kegiatan yang intens. Ungkapan ini sejalan dengan alasan pemilihan empat orang seniman. Selain memiliki benang merah dalam hal gambar dan olahan garis pada karya-karyanya, Maria Josephina Bengan, kurator muda yang ditunjuk untuk mengkurasi pameran ini mengaku menemukan kesenangan ketika melihat keempat seniman tersebut berkarya.
“Ketika yang lain sudah membuat fotografi, performance, mereka berempat masih asik menggambar. Saya menyebut mereka cenderung nerd juga dalam soal ini,” ujar Maria.
Dalam kegiatan ini, keempat seniman muda juga menceritakan proses berkarya mereka yang berbeda-beda. Misalnya Gilang Nuari yang menangkap momen kehidupan di bantaran Sungai Winongo, Yogyakarta. Gilang mengaku ia sering menuangkan hasil observasinya ke dalam bentuk tulisan fiksi terlebih dulu sebelum akhirnya ia tuangkan ke dalam gambar. Dalam pameran kali ini, ia menampilkan karyanya yang berjudul Behind the House yang ia buat dengan medium pena dan tinta di atas kayu.
Lain halnya dengan Kara Andarini. Ia bercerita bahwa karyanya yang berjudul Lost in Translation, sebuah gambaran peta penunjuk jalan, dibuat berdasarkan keresahannya apabila menanyakan arah pada orang-orang yang ia temui di jalan. “Orang-orang itu pasti bilang belok sini, lurus aja, ke sini, dan itu kadang membuat saya bingung,” ujarnya. Dari karyanya yang berupa kerumitan garis-garis, bisa ditangkap bagaimana Kara memunculkan intisari dari arahan-arahan verbal ke dalam bentuk visual.
Rega Ayundya, dalam karyanya Picnic in Panic, menampilkan citraan tubuh yang dibalut distorsi. Ia juga mengaku bahwa karyanya sering lahir dari spontanitas di atas kertas yang pada akhirnya ia beri sentuhan tambahan melalui digital. Sedangkan RIshma Riyasa, menggarap sebuah drawing dengan latar peribahasa-peribahasa misalnya seri Seperti Menggunting Dalam Lipatan yang memainkan gradasi warna dan arsiran.
Lebih dari tiga puluh karya ditampilkan dalam pameran yang dilaksanakan dari tanggal 6-18 Maret ini. Pameran ini sendiri diadakan sebagai bentuk pendekatan baru Galeri Serrum. “Sebelumnya pameran yang biasa kita buat biasanya berbasis proyek dan penelitian. Tapi kali ini, kita coba membuat satu pendekatan baru dengan mengundang seniman, kurator, agar pamerannya juga lebih diruangkan dan terkonsep,” terang Angga Wijaya, Program Manager Galeri Serrum.
Yang menarik dari rangkaian acara ini adalah adanya kegiatan kunjungan pelajar pada tanggal 17 Maret. Untuk hal ini, Angga mengatakan bahwa Galeri Serrum memang memiliki visi edukasi.
“Kita tahu kurikulum pendidikan seni saat ini kan masih kurang untuk anak-anak sekolah. Karena itu kita mencoba untuk mengedukasi agar anak-anak sekolah itu nggak hanya tahu Raden Saleh atau nama-nama besar saja,” kata Angga. Pada pameran kali ini, pelajar yang akan mengunjungi Galeri Serrum adalah pelajar kelas 3 dari SMA Labschool, Jakarta.