“Siapa saya, seorang perempuan keturunan Belanda yang berhak mengkritik sosial dan politik di Indonesia?”.
Pertanyaan itu terus mengusik pikiran seniman kelahiran Emmerlood Belanda, Mella Jaarsman, saat mengawali kariernya sebagai seniman di Indonesia. Lulus dari Fine Art Academy ‘Minerva’, Groningen – Belanda pada 1984, Mella yang memiliki ketertarikan mendalam pada budaya sosial dan sejarah Indonesia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) meski hanya satu tahun, dilanjutkan ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 1985 – 1986.
Peristiwa Reformasi 1998 menjadi momentum penting dalam sejarah berkarya Mella. Ia mulai memberanikan diri untuk “berbicara” terbuka melalui karya-karyanya yang digarap dengan metode riset antropologis yang mendalam. Mella bahkan tak segan-segan menjelajahi pedalaman Papua atau keluar masuk puluhan toko barang bekas dan loak untuk mencari jejak-jejak sejarah yang selanjutnya ia satukan menjadi karya kreatifnya.
“Karya-karya saya menjadi media untuk berintrospeksi pada sejarah, memersepsikan lingkungan sosial yang membentuk identitas individu, bangsa, dan negara ini,” katanya saat wawancara bersama Sarasvati di Jakarta, Selasa, 8 April 2014.
Kali ini melalui pameran tunggalnya bertajuk “Potong Waktu” diselenggarakan di Nadi Gallery, Jakarta, pada 27 Maret – 17 April 2014, Mella menampilkan delapan karya instalasi dan 21 lukisan cat air. Karya-karya yang dipamerkan tak seutuhnya baru, beberapa diantaranya bahkan sudah pernah ditampilkan pada 2009. Menurut Enin Supriyanto, selaku kurator, pameran ini ingin menunjukkan kepada pecinta karya-karya Mella bagaimana “pergeseran penekanan aspek sosial-historis karya Mella selama lima tahun terakhir”.
Sementara, kepada para pengunjung Mella mengajak untuk mengingat dan memikirkan kembali bagaimana proses sebuah peristiwa menjadi begitu berarti dan penting hingga layak diingat. Waktu dan ruang menjadi pembahasan yang menarik bagi seniman yang lahir pada 9 Oktober 1960 itu. Baginya keabstrakan waktu dan keterikatannya dengan masing-masing individu meninggalkan beragam cerita yang bisa dikisahkan melalui karya-karya instalasinya.
“Waktu tidak memiliki wujud tapi ia sesuatu yang terus kita alami. Lalu, bagaimana kita merefleksi terhadap waktu? Bagaimana keterikatannya dengan ingatan? Faktanya sebagian besar kita hanya lebih banyak mengingat peristiwa-peristiwa besar dan negative ketimbang peristiwa menyenangkan,” ungkapnya.
Disinilah peran gunting sebagai simbol dari sesuatu yang “tajam” dalam peristiwa-peristiwa yang membentuk ingatan manusia. Gunting-gunting itu kemudian dirangkai menjadi lima kostum berbeda dalam karya berjudul “Potong Waktu” (2014). Mengapa kostum? Karena kostum selalu dekat dan melekat pada manusia. Melalui kostum identitas seseorang terbentuk dan berperan penting dalam menjembatani sosok individu ke dalam kehidupan sosial.
Mella menambahkan, kostum juga menjadi alat kamuflase bagi manusia untuk dekat dengan alam seperti yang terlihat dari karya lamanya “This Shirt Fits Us All” (2009). Seniman yang pernah meraih John D.Rockefeller 3rd Award pada 2006 itu membandingkan metode tradisional yang dipilih perempuan-perempuan di pedalaman Papua dengan melukis badannya agar bisa menyatu dengan alam. Sementara, perempuan-perempuan di kota yang telah terpapar berbagai moderinitas memilih untuk menggunakan kain-kain bercorak militer atau kain dengan tekstur dan pola kulit binatang untuk “dekat” dengan alam.
Di lantai Nadi Gallery, Mella menampilkan karya instalasi dan performance berjudul “High tea” (2014). Terdapat tujuh teko teh dengan beragam ukuran yang dilukis dengan pemandangan indah khas perkebunan teh. Di depannya ada sebuah meja ditutupi oleh kain yang dipenuhi cap khusus logo dan label pembungkus teh. Seorang “pelayan” menanti Anda untuk menuangkan teh-teh berkualitas tinggi. Tapi di waktu lain, pelayan itu tak berwujud dan hanya teh-teh berkualitas rendah yang menanti Anda.
Melalui karya itu, Mella mencoba untuk mengingatkan kembali masyarakat bagaimana sejarah perkebunan teh di Indonesia di mulai. Bagaimana beratnya kehidupan para petani pemetik teh dibalik kenikmatan teh yang disajikan. “Pembagian jenjang sosial di masyarakat dari abad ke-19 hingga saat ini terus berlangsung. Tetapi kita kerap lupa,” katanya.