Di mata Hanafi, kolong meja tak lagi sekadar ruang di bawah meja yang kosong, gelap, dan tak berarti. Di baliknya tersimpan memori Hanafi kecil saat bercengkrama bersama sang ayah menyaksikan penjual-penjual perabotan yang memanggul dagangannya melewati halaman rumahnya di Purworejo. Di kolong meja pula ia menyaksikan akar dari segala permasalahan negara.
“Saat meja atau kursi itu kamu beli, mereka tidak pernah berkata akan menggratiskan kolongnya. Begitulah kesederhanaan orang-orang di masa lalu. Tidak seperti saat ini yang terang-terangan melakukan transaksi gelap di bawah dan atas meja,” kata Hanafi menirukan ucapan sang ayah yang menginspirasinya untuk memikirkan esensi sebuah ruang bernama kolong meja.
Ya, bagi pelukis abstrak lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta pada 1979 itu, kolong meja tak lagi sekadar ruang. Ia terus bermigrasi, merespon mereka yang mengisinya. Ada yang menjadikan kolong meja sebagai ruang dan kesempatan melakukan berbagai transaksi ‘gelap’ untuk melancarkan usahanya, adapula yang melihat kolong meja sebagai kekosongan yang terus bergerak.
“Kolong meja tidak memiliki fisik, ia tidak bisa dipegang, disentuh. Tapi ia bergerak, bermigrasi. Tergantung bagaimana kita melihatnya seperti apa,” kata Hanafi kepada Sarasvati.
Dalam pameran tunggal bertajuk “Migrasi Kolong Meja #3”, yang berlangsung pada 15-29 Maret 2014 di Galeri Salihara Jakarta, Hanafi menampilkan tiga karya lukis dan satu instalasi berbentuk ayunan. Selintas pengunjung akan kesulitan mencari wujud “kolong meja” yang menjadi tajuk utama dalam pameran ini. Tak seperti dalam dua pameran dengan tajuk serupa sebelumnya yang diselenggarakan di Semarang dan Bali, pengunjung masih bisa menyarikan kehadiran kolong meja saat melihat goresan-goresan lukisan abstrak Hanafi.
“Memang ada pemuaian secara visual dalam pameran kali ini. Tidak berarti saya menghentikan kehadiran kolong meja secara visual, tapi jika saya memperlihatkan lagi sosok fisiknya maka tidak ada pemuaian dan migrasi dalam pameran kali ini,” ujar Hanafi.
Hanafi bahkan tidak menjadikan karya-karya lukisannya sebagai pusat dan fokus utama pamerannya, meski ada karya lukis sepanjang 38 meter yang sudah pasti menarik perhatian pengunjung. Karya tersebut dengan cerdas memancing pertanyaan di balik proses dan tujuan pembuatannya. Menurutnya lukisan berjudul “Tanpa Judul” itu diciptakan semata-mata untuk merespon bentuk ruang pamer di Galeri Salihara yang memiliki lengkungan sempurna.
“Sudah lama saya ingin berkarya secara bersama, kali ini dengan arsitek. Akan sangat berbeda jika ruangan ini direspon dengan cara yang sama seperti di galeri-galeri lainnya, dengan menggunakan frame berbentuk kotak. Estetik yang ingin dibangun sang arsitek sudah pasti gugur. Ruang dan karya tidak lagi seirama,” katanya.
Melalui karya itu, Hanafi juga ingin mengajak para pengunjung untuk tak sekadar melihat-lihat karya melainkan ikut mengalami karya. Entah itu dengan tenggelam atau menyelam di lautan hitam karyanya. Ia bahkan mengundang para pengunjung untuk menjadi bagian dari karya yang disebut-sebut cukup menguras energi dan pikirannya itu. “Penonton juga bisa menjadi bagian dari karya. Ia tak memiliki sudut-sudut tertentu, sehingga saat berdiri di depannya Anda seakan-akan tenggelam di lautan hitam pekat,” ujarnya.
Lalu, di mana pusat migrasi kolong meja kali ini? Pria kelahiran 5 Juli 1960 itu justru menjadikan ayunan di tengah ruang pameran sebagai fokus utama. Hanafi menyadari bahwa hampir seluruh pengunjung tidak menyadari esensi kehadiran sang ayunan di ruang pamernya. Dan menjadikannya sebatas karya tambahan yang tak mendukung pameran sepenuhnya.
“Pusat migrasi dalam pameran ini justru berada di titik bawah ayunan. Saat ayunan itu berayun maka kolong di bawahnya ikut bermigrasi ke segala arah,” ujar Hanafi yang telah menyelenggarakan 37 pameran tunggal sejak memulai karier sebagai pelukis pada awal 1990.
Kolong ayunan jelas berbeda dengan kolong meja. Ia tak memiliki kaki-kaki meja yang menompang daun meja. Dan, dalam pameran “Migrasi Kolong Meja”, Hanafi menjadikan kaki-kaki meja itu sebagai simbol pelaku kecurangan yang kerap melakukan ‘transaksi gelap’ (KKN). Saat kolong ayunan tak lagi memiliki kaki-kaki, menurut Hanafi, dampaknya ternyata cukup positif. Sama seperti saat menaiki ayunan.
“Pengunjung akan merasa senang, fresh, dan tidak ada lagi ketakutan saat melihat kolong meja,” kata Hanafi yang tak pernah mengkonsep lebih dulu karyanya. Baginya, saat kuas dan cat bertemu maka otoritasnya sebagai pemegang kuas tak lagi memiliki kuasa. “Saya serahkan semua pada apa yang akan terjadi, bukan apa yang akan dijadikan,” katanya.