Di kancah seni pertunjukan, nama Melati Suryodarmo sudah tidak lagi asing. Salah satu karyanya yang mendunia Exergie – Butter Dance, menjadi fenomenal tatkala ia jatuh terpleset berkali-kali karena menari di atas puluhan balok mentega. Gagasannya berangkat dari pengalaman pribadi ketika ia terus-menerus “jatuh” ke dalam kesalahan yang sama, namun seringkali tak ia sadari. Baginya, tubuh merupakan subjek sekaligus sumber gagasan, berupa karya yang menyatu dengan elemen hidup, yang akan terus tumbuh dan punya masa depan.
Melati meyakini bahwa psikologi manusia di masyarakat terbentuk oleh sejarah, pengalaman hidup, dan memori. Meski karyanya berangkat dari hal pribadi, tetapi sebagian kecil psikologi manusia secara kolektif pasti akan mempertemukan pengalamannya dengan pengalaman orang lain. Dari psikologi manusia itulah, ia juga menyadari bahwa karyanya akan menghadirkan bermacam-macam lapisan interpretasi, yang tak pernah ia permasalahkan.
Jalannya untuk melakoni seni pertunjukan bagaikan sebuah takdir. Saat itu ia tinggal di Braunschweig, Jerman dan bertemu dengan Anzu Furukawa, seorang koreografer butoh, teater tari Jepang. Lewat Furukawa yang juga seorang pengajar, Melati mengenal seni pertunjukan lebih dalam setelah memutuskan untuk menjadi muridnya di sekolah seni rupa Hochschule für Bildende Künste, Jerman.
Banyak hal yang dia dapat dari proses mengasah ilmu bersama Furukawa, mulai dari riset menghadirkan gagasan dari keseharian hingga mencari keindahan bentuk koreografi dari hal-hal yang tak lazim seperti dari serangga, orang sakit, hingga tubuh yang telah mati. Dari situ ia menyadari bahwa kematian pun bukan sesuatu yang buruk dan menjadi hal baru yang tidak ia temui di kultur Indonesia.
Seni pertunjukan menjadi lebih menarik bagi Melati Suryodarmo, karena Furukawa tidak mengajarkannya untuk menjadi penari, namun memperkenalkan bahwa butoh itu sendiri ada di antara tari dan seni rupa. “Menjadi sesuatu yang ada di antaranya adalah hal yang menarik, seperti air yang mengalir di antara batu-batu, bisa bergerak dengan lebih bebas,” ujar seniman yang lahir pada 12 Juli 1969.
Lewat seni pertunjukan, tubuh ia posisikan sebagai subjek, bukan sebagai objek yang memiliki titik akhir. Ia sendiri dulunya tak pernah berpikir sedetail ini, namun lebih memprediksi bahwa tidak ada posesivitas keduniawian yang abadi terhadap sebuah objek, karena hidup yang juga fana, sehingga perlu melihat sejauh mana gagasan dalam seni bisa kekal dan bertahan.
“Karena suatu saat buatku objek akan selesai,` terlebih lagi sekarang banyak yang kembali mempertanyakan seni itu apa, estetika itu apa, tubuh itu apa, conceptual art itu apa. Dekade ini menjadi penting karena post-internet menjadi berpengaruh dalam dunia estetika seni rupa.”
Atas dasar itulah, Melati ingin menunjukan daya yang mampu ditangkap dan diperlihatkan ketika objek dihilangkan. Bahwa ada sesuatu yang bisa dibawa berupa rasa tertentu yang masuk dalam ruang-ruang memori penontonnya. “Kesulitan utama dari seni pertunjukan adalah mempertahankan nilainya di antara semua objek dan pertunjukan konvensional. Mempertahankan nilainya untuk ikut bergerak sehingga yang menonton bisa ikut mengalami, entah berupa rasa atau kesan, lebih dari apa yang ditangkap oleh mata.”
Selain Furukawa, pertemuan Melati dengan penampil sekelas Marina Abramovic juga tak kalah penting. Abramovic begitu mempengaruhinya dalam mengenal daya hadir tubuh di dalam sebuah conceptual work (pertunjukan) yang menggunakan tubuh dan hubungan tubuh dengan nilai waktu. Selama bertahun-tahun kita mengenal Melati lewat berbagai pertunjukan berdurasi panjang, beberapa seperti De Sekundentraum (1998), I Love You (2007), dan I’m a Ghost in My Own House (2012). Baginya, hal itu bukanlah meditasi, tetapi melihat adanya garis tipis antara ketahanan dan keterbatasan waktu.
“Artinya, semua konsepku lebur di situ, semua resepsi tentang karya akan diserap oleh publiknya. Saya mengalami sesuatu, Anda juga mengalami sesuatu, dan untuk merasakannya dibutuhkan durasi waktu. Imaji yang muncul juga akan berubah dengan sendirinya,” ujar putri dari penari Suprapto Suryodarmo ini.
Melati juga bercerita bahwa ia tidak pernah latihan dalam melakukan long durational performance, yang ia lakukan hanya mempersiapkan bagaimana mengolah material yang dipakai dan alur pertunjukan. Baginya, hal yang tak terduga adalah hal yang paling mendasar, untuk mengenal tubuh itu sendiri.
“Performance-ku itu non-naratif dan tidak ada dramaturgi, murni pemikiran untuk menggabungkan konsep dan objek dalam ruangan, kemudian aku lakukan saja. Seperti memasak dengan hati, aku menyiapkan bahannya secara pemikiran, lalu meleburkan dan mencampurkannya bersama tubuhku. Tubuhku itu panci, waktu itu api, masakan (pertunjukan) ada di dalamnya.”
Artikel Subjektivitas Tubuh Melati Suryodarmo dimuat di majalah SARASVATI edisi Juli 2017