Priyaris Munandar (kanan bertopi) bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Dari dongeng dan kisah-kisah di masa kecil, Priyaris Munandar memvisualisasikan nuansa kolosal ke dalam karya.

Priyaris Munandar kecil tak pernah kehabisan cerita dari kakek-neneknya. Dongeng-dongeng kebudayaan Jawa dan Tionghoa serta cerita tentang tanah kelahirannya, Sidorejo, Yogyakarta, menjadi salah satu yang kerap dikisahkan padanya. Dari situ, ia mulai gemar menonton dan mengoleksi film-film silat Tiongkok dan buku-buku cerita tentang kebudayaannya.

Kisah-kisah inilah yang mengendap dalam diri Priyaris remaja ketika masuk Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta dan melanjutkan kesenangannya belajar melukis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dalam karya-karya pria kelahiran pria kelahiran 27 Februari 1978, tokoh-tokoh dengan rupa dan atribut yang erat dengan kebudayaan Tionghoa kerap mengemuka.

Sosok-sosok bernuansa kolosal ini tak jarang hadir di benaknya setelah berjalan ke situs-situs purbakala di sekitar Yogyakarta, termasuk di antaranya makam Kyai dan Nyai Bon Tei. Suami-istri keturunan Tionghoa itu konon merupakan orang pertama yang membuka perkampungan Mbotitan yang kelak menjadi Sidorejo.

Priyaris Munandar,
Priyaris Munandar, “Kaum Petani di Jalan Tokaido”, 85x240cm, AOC, 2016. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Dalam perjalanan tersebut, Priyaris kerap membayangkan dirinya sebagai peneliti yang tengah mengeksplorasi situs-situs tersebut, hingga hal-hal yang dilihatnya kemudian diolah menjadi pokok soal yang akan tertuang pada karya. Situs-situs itu kemudian dijelajahinya lagi lewat teks-teks sejarah dan legenda.

Dari teks-teks tersebut, alih-alih langsung menggambarkannya, ia malah memerdekakan dirinya untuk membuat penciptaan sendiri. Di lain waktu, ia kadang melepaskan laku riset dan membiarkan kegelisahannya pada banyak hal memuncak.

“Energi ini tidak saya tolak, saya biarkan mengalir ke atas kanvas.”

 

Ulasan lengkap Kisah-kisah Berkabut Priyaris Munandar dapat dibaca di majalah Sarasvati edisi November 2016