Mengkoleksi karya seni bukan sekedar bicara tentang citra rasa (taste) dan kecintaan, tetapi juga nilainya yang bisa menyaingi harga logam mulia. Wajar jika dalam dua dekade terakhir, peminat karya seni rupa (kolektor) Indonesia jumlahnya terus bertambah.
Namun menjadi kolektor seni yang handal tidak cukup dengan rasa cinta pada dunia seni. Menurut pemilik Galeri Vivi Yip Art Room, Vivi Yip, setidaknya seorang kolektor seni perlu memiliki tiga hal penting.
Pertama, kolektor harus memiliki citra rasa yang tinggi dan mata yang jeli agar tidak tertipu dengan karya ‘abal-abal’. Setidaknya ia harus lebih dulu mengetahui karya seperti apa yang ia sukai dan layak dikoleksi, serta karya seperti apa yang cukup layak menjadi investasi.
Kedua, kolektor harus memiliki uang yang bisa dibelanjakan karena harga karya seni saat ini bisa mencapai tiga digit alias ratusan juta. Terakhir, seorang kolektor juga harus memiliki waktu untuk ‘berburu’ karya-karya seni, tidak melulu membeli karya seniman-seniman yang sudah memiliki nama (established).
“Kolektor itu harus mau dan punya waktu untuk belajar tentang karya seperti apa yang akan ia koleksi. Juga penting memiliki hunting instinct dan meluangkan waktu untuk berburu,” kata Vivi Yip saat menjadi pembahas dalam diskusi bertajuk ‘Menjangkau Publik Baru untuk Seni’ di Galeria Fatahillah, Kantor Pos Fatahillah, Jakarta, Sabtu (15 Maret 2014).
Menurutnya, seorang kolektor harus mampu mendukung lahirnya seniman-seniman besar baru, tidak sekedar menjadi follower kolektor yang sudah ada. Jangan takut untuk blusukan ke kampus-kampus seni rupa, ataupun ke kediaman seniman-seniman yang belum atau tidak terkenal. Siapa tahu, nilai plus yang Anda lihat saat itu benar-benar memiliki nilai tinggi di masa mendatang.
Jemput Bola
Edukasi adalah kunci utama untuk menciptakan kolektor-kolektor baru dalam dunia seni rupa saat ini. Setidaknya untuk membuka wawasan bahwa karya seni bukan semata-mata karya hasil kreatif seniman-seniman modern seperti Vincent Van Gogh dan Picasso, atau karya S.Soedjojono dan A.D Pirous.
“Edukasi dunia seni merupakan hal utama. Di luar negeri bahkan ada pendidikan khusus untuk mengapresiasi perkembangan seni, sejarah, dan industrinya. Seluruh stakeholder saling bahu membahu terlibat dalam proses tersebut,” ungkap Sales Director Gagosian Gallery Hong Kong sekaligus pemilik Koi Restaurant, Amalia Wiryono, dalam diskusi yang sama.
Peranan dua instasi utama dunia seni yakni Galeri dan Museum dalam mendukung pendidikan seni ke anak-anak muda, menurutnya tak bisa lagi ditawar. Bahkan di sejumlah negara maju, para senimannya tidak ragu-ragu datang langsung ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan seni kepada pelajar muda. Tapi, tentu saja dengan cara dan metode yang atraktif, informatif, dan sekaligus interaktif.
“Sejumlah museum di luar negeri bahkan menyediakan caption khusus untuk pengunjung belia yang dituturkan dengan cara yang mudah untuk mereka pahami. Sayang di Indonesia, pemikiran demikian belum cukup banyak diadopsi,” sambung Program Manager Salihara, Dian Ina Mahendra.
Edukasi, menurutnya, tidak saja penting untuk memperkenalkan dunia seni tetapi juga untuk menunjukkan cara tepat mengapresiasi seni yang tidak melulu dengan cara mengkoleksi karya. Tapi juga dengan melihat langsung karya di pameran-pameran seni meski bukan oleh seniman ternama, terlibat dalam upaya konservasi, dan menghargai nilai estetik dari karya apapun.
Pernyataannya diamini pula oleh kolektor seni rupa kontemporer Indonesia Wiyu Wahono. Menurutnya hal utama yang perlu dilakukan untuk menjangkau pecinta seni dan kolektor baru adalah membuat mereka jatuh cinta kepada seni. “Ruang seperti Galeria Fatahillah harus aktif mengadakan kegiatan seni, begitu pula dengan ruang-ruang public lainnya seperti mall ataupun gedung perkantoran,” katanya.