“The only thing worse than a silly politician analyzing art is a silly artist analyzing politics.”
— Jonathan Alter
Kutipan dari wartawan senior Amerika Jonathan Alter di atas sepertinya tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat ini. Ketika karya instalasi bambu Joko Avianto menuai kontroversi lantaran banyak pihak yang mengkritik pembongkaran instalasi tersebut yang tidak tahan lama meskipun telah memakan anggaran sebesar Rp 550 juta. Padahal, nilai sebuah barang seni sesungguhnya sangatlah relatif, kita tidak mempunyai kapasitas penuh untuk menjustifikasi apakah sebuah barang seni terlalu mahal atau terlalu murah.
Terlebih lagi, sangat disayangkan nilai estetis dari sebuah karya seni menjadi ternodai akibat suatu preferensi politik tertentu. Sedangkan seni seharusnya tidak terjebak dalam perdebatan politik. Di tengah situasi politik yang panas, dan terpecah-pecah, seni seharusnya bisa jadi tempat untuk bersatu, dan menemukan kebersamaan.
Menilik kembali ke belakang, karya seni instalasi bambu Joko Avianto sebenarnya telah melanglang buana menghiasi berbagai public event baik di tanah air maupun di ajang-ajang internasional, festival-festival yang memamerkan instalasi bambu karya Joko Avianto antara lain:
1. Art Jog|12. Di festival seni internasional tahunan yang digelar di kota Yogyakarta pada tahun 2012, jalinan bambu Joko Avianto berjudul “The Lost Vegetations” terpampang megah di halaman Taman Budaya Yogyakarta.
2. Lalu berikutnya di tahun 2013, jalinan bambu karya Joko Avianto menutupi balai kota di George Town, Penang, Malaysia.
3. Tahun 2014 Joko Avianto turut ambil bagian di Singapore Art Stage 2014 dengan karya berjudul “The Continuous Gate“.
4. Frankfurter Kuntsverein di Frankfurt, Jerman, adalah titik balik bagi Joko Avianto yang membungkus fasad museum yang berusia 186 tahun tersebut dengan karya instalasi bambunya yang berjudul “Root. Indonesian Contemporary Art”.
5. Dan di tahun 2017, karya Joko Avianto terpasang di Grand Gallery of the Yokohama Musem of Art, Jepang, dalam festival Yokohama Triennale 2017.
Di berbagai festival internasional tersebut, karya-karya Joko Avianto juga dipajang secara temporer hanya dalam kurun waktu antara 1 sampai 6 bulan. Namun ironisnya, hanya dalam kasus “Getih-Getah” saja karya Joko Avianto menuai kontroversi dan memicu perdebatan panjang. Mungkin, kini di negeri sendiri, karya seni Joko Avianto telah terjebak atau sengaja dijebloskan dalam konstelasi politik.
“Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies.”
— Groucho Marx
Fenomena di mana seni dilibatkan ke dalam ranah politik sebenarnya bukan baru terjadi kali ini saja. Di Eropa, misalnya, pernah terjadi kasus patung “Entropa“, dimana pada saat tahun 2009—untuk menandai kepemimpinan mereka di Dewan Uni Eropa—Republik Ceko menugaskan seniman berkebangsaan Ceko, David Cerny untuk membuat sebuah instalasi kontemporer dengan berkolaborasi bersama 27 seniman Uni Eropa lainnya. Alih-alih berkolaborasi, Cerny bersama 2 asistennya justru berkomplotan membuat suatu karya instalasi penuh dengan simbol-simbol kontroversial yang menyinggung beberapa negara anggota Uni Eropa lainnya.
Dari dalam negeri, ada komponis Ananda Sukarlan yang kerapkali menggunakan musiknya untuk menunjukkan statement politiknya, begitu pula sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer, yang seperti banyak dari kita ketahui, dijadikan tahanan politik oleh rezim penguasa karena seringkali menggunakan tulisannya sebagai refleksi atas pandangan politiknya.
Berdasarkan referensi-referensi tersebut, jelas rasanya jika sebenarnya tidak sepantasnya seorang seniman seperti Joko Avianto—yang tidak secara terang-terangan membuat karya seni sebagai suatu statement politik—menjadi korban serangan publik oposan yang notabene berseberangan dengan incumbent gubernur.