Ranah seni rupa Indonesia masih dipandang belum memiliki infrastruktur kuratorial yang mendukung perkembangan seni rupa. Dibandingkan posisi seniman, kerja kuratorial di ranah seni rupa Indonesia masih dalam proses bertumbuh. Masih diperlukan regenerasi kurator yang bisa mengimbangi produktivitas karya seni rupa dan kemunculan perupa. Melihat kepentingan ini, Rumah Seni Cemeti dan kurator Alia Swastika mengadakan Forum Kurator Muda (FKM) yang diselenggarakan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, pada 9-12 Januari 2013.

Dalam FKM ini terseleksi 16 kurator muda yang kemudian diminta untuk membuat proposal yang nantinya akan dipilih dua yang terbaik untuk direalisasikan menjelang akhir tahun 2013. Para 16 kurator muda ini berasal dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan persentase terbanyak dari Yogyakarta.

Dengan mengumpulkan para kurator muda dari tiga kota, forum ini tak hanya bermanfaat dalam membangun wacana, namun juga dalam membangun jaringan. “Forum Kurator Muda ini penting karena menjadi wadah bertemu dan membuat jaringan antara kurator muda dan memproduksi wacana kekuratoran yang selama ini belum ada usaha khusus di Indonesia,” ujar Mitha Budhyarto, salah satu peserta dari Jakarta.

Salah satu diskusi yang menarik dalam FKM ini muncul dalam topik “Peran dan Posisi Kurator dalam Medan Seni di Indonesia”. Melalui materi yang diberikan oleh Agung Hujatnika(jennong) dan Enin Supriyanto, yang dimoderatori oleh Alia Swastika, serta Sudjud Dartanto sebagai penanggap, peserta diajak mengetahui lebih mendalam mengenai sejarah kekuratoran, posisi kurator di Indonesia dan perkembangannya yang sebelumnya tidak banyak diketahui.

Secara menarik, Agung Hujatnika(jennong) memaparkan makalahnya yang memuat sejarah praktek kurator di Indonesia. Dari diskusi ini, muncul wacana yang menarik tentang keterkaitan kerja kuratorial dengan ruang tempat peristiwa seni diadakan, dan perkembangan kuratorial yang justru lebih berkembang di luar disiplin akademisi.

Topik diskusi lainnya yang digelar dalam FKM adalah Kurator dan Seniman: Relasi Kuasa, Intervensi, dan Produk Wacana dengan pembicara Agung Hujatnika(jennong), Mella Jaarsma, dan Herbert Hans; Pasar Seni dan Pengaruh Sistem Ekonomi dalam Medan Seni Rupa Kontemporer dengan pembicara Tita Rubi dan Heri Pemad; dan Internasionalisme dalam Medan Seni Rupa Indonesia dengan pembicara Enin Supriyanto dan Jompet Kuswidananto.

Selain berdiskusi, para peserta juga diajak berkunjung ke beberapa tempat seperti Indonesia Contemporary Art Network (ICAN), Heri Pemad Art Management, House of Natural Fibres Laboratory (HONFablab), dan studio Agus Suwage. Selain bertemu dengan pemilik galeri dan institusi, para peserta juga bertemu dengan para seniman dari beberapa generasi seperti Wimo Bayang, Arahmaiani, Titarubi, dan lainnya. Dalam kesempatan ini, FKM juga menjadi ajang untuk berkumpul, berdiskusi, bertukar pikiran antara para kurator senior dengan kurator muda untuk berbagi dengan para peserta. “Selalu ada regenerasi, itulah kenapa saya bikin forum ini, biar ada pembagian pengetahuan dan pengalaman antara senior dengan junior,” ungkap Alia Swastika. Pertemuan tersebut diharapkan dapat menggugah para kurator muda untuk bergerak lebih, daripada yang telah dirintis para kurator senior.

FKM ini diadakan Rumah Seni Cemeti yang dulu dikenal dengan Galeri Cemeti, dalam rangka memeringati 25 tahun Rumah Seni Cemeti pada 31 Januari 2011. Dengan usia perak tersebut, Rumah Seni Cemeti mengadakan sembilan progam yang dilakukan sepanjang tahun 2013 dengan bertajuk “Turning Targets 25 Years of Cemeti”. Program terakhir pada Desember 2013 akan termaktub dalam sebuah buku. Buku itu nantinya berisikan sembilan rangkaian program yang telah dilakukan sebelumnya yang akan memberikan kontribusi pada penciptaan kritik budaya intelektual.

Dalam hal tersebut, Rumah Seni Cemeti yang telah dirintis sejak tahun 1988 telah menjadi inspirasi dalam dunia seni rupa yang memiliki fokus perhatian untuk membangun alternatif infrastruktur ativitas seni rupa. Ulang tahun yang ke-25 menjadi momen untuk napak tilas perjalanan seni rupa kontemporer di Indonesia sekaligus merupakan upaya yang konstruktif melalui program-program yang direncanakan. “Kami mengambil peluang merayakan 25 tahun dengan mengundang terutama aktivis-aktivis seni untuk melakukan permenungan-permenungan yang reflektif terhadap sikap kebudayaan kita melalui seni rupa,” ungkap Nindityo Adipurnomo selaku direktur artistik Rumah Seni Cemeti.

Dari sembilan program festival seni rupa yang mereka adakan, FKM yang merupakan program kedua dalam Turning Targets, diciptakan atas dasar adanya keinginan memberikan ruang untuk berdiskusi, sebuah kesempatan bagi kurator muda untuk memperdalam kekuratoran sebagai profesi dan sebagai subjek wacana dalam medan seni kontemporer.

Nindityo juga menerangkan bahwa program ini diciptakan agar para peserta memiliki suatu forum sebagai wadah untuk menggali dan mengembangkan potensi mereka bersama-sama. Mereka diharapkan menyadari bahwa praktik kerja kuratorial seperti hutan belantara yang tidak terbatas pada wilayah kerja yang biasa mereka hadapi berupa galeri, museum, atau pasar. Bukan juga melulu menentukan tempat yang tepat, pencahayaan, dan display yang bagus, melainkan juga agar para kurator muda mendapatkan gambaran yang semakin luas dengan disiplin-disiplin ilmu lain yang berkorelasi dengan dunia seni mulai dari konteks politik, ekonomi, filsafat, ilmu sosial, dan lainnya.

Dalam dunia seni rupa, kurator memiliki peran begitu besar dalam membangun wacana dan membentuk arahan perkembangan seni rupa. Mereka menjadi jembatan mempertemukan seniman dengan masyarakat luas dalam menyampaikan ide-ide si seniman. Sementara itu, sekarang ini kurang sekali institusi yang memberi perhatian dalam memberi pelatihan dan pengembangan praktik kerja kuratorial.

Dengan terselenggaranya FKM ini diharapkan tercipta sebuah mimbar diskusi yang berkesinambungan antarpelaku seni, serta melahirkan kurator muda yang dapat memberikan alternatif pada sektor seni formal di universitas-universitas. Nantinya, para peserta diharapkan dapat mengeksplorasi lebih jauh praktik kerja kuratorial dan menjadi pionir-pionir yang memberikan inspirasi bagi kurator lain yang tidak ikut serta. Nindityo juga mengungkapkan harapannya kepada para peserta untuk menjadi pemain-pemain kreatif dan mengambil peluang yang unik dengan keputusan-keputusan kebudayaan malalui seni rupa. “Jadi, bukan pemain pasar, tapi pemain-pemain yang memegang kunci unik dan kreatif kebudayaan melalui seni rupa. Karena seni rupa bisa dilihat dari konteks kebudayaan,” ujarnya.