Enam Windu Sanggar Dewata Indonesia

0
3687

Gunarsa Sang Penggagas SDI

I Nyoman Gunarsa
I Nyoman Gunarsa (Foto: balikini.net)

Sosok yang begitu berjasa di balik kehadiran SDI adalah I Nyoman Gunarsa. Dia salah satu mahasiswa seni rupa pertama dari Bali yang menempuh pendidikan di Yogyakarta sejak tahun 1960. Gunarsa berkuliah di ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta tahun 1960 hingga 1967 dan mendapat kesempatan belajar dari para pelukis legendaris Indonesia, salah satunya Fadjar Sidik, yang menjadi guru utama dan mengasah spontanitasnya untuk berkarya. Gunarsa, yang disebut kurator Mikke Susanto “memiliki kemampuan kuat dan berkembang sebagai entitas unik”, berpulang ke pangkuan pencipta pada 10 September 2017, dalam usia 73 tahun.

Meski telah tiada, jasa Gunarsa bagi SDI sangatlah besar. Jalan yang ia tempuh pun begitu panjang. Semenjak menjadi asisten dosen hingga dosen tetap di ASRI, Gunarsa dengan militan menggunakan uang pribadinya untuk membangun dan mengelola SDI bersama beberapa mahasiswa lain seperti I Made Wianta, I Wayan Sika, Pande Gede Supada, Wayan Arsana, dan I Nyoman Arsana. Di titik inilah, Gunarsa menggagas dibentuknya ruang kreatif bagi perupa Bali yang berada di Yogyakarta. Sebuah ruang kreatif yang akhirnya menjadi pionir dalam perkembangan seni rupa kontemporer Bali.

Gede Pande Supada,
Pande Gede Supada, “Tokoh Wayang”, 96×100 cm, cat minyak di atas kanvas, 1989, (Dok. Galeri Nasional)

“Pada tahun 1970, saya dari Bali masuk ASRI bersama dengan Wayan Sika dan Pande Supada. Waktu itu sudah ada tiga mahasiswa Bali yang lebih dulu belajar di sana. Ada Nyoman Gunarsa yang telah menjadi asisten dosen dan dua mahasiswa lain yakni Wayan Arsana dan Nyoman Arsana,” tutur Made Wianta sebagai salah satu penggagas dan saksi hidup berdirinya SDI.

Wianta menceritakan tentang tahun-tahun pertama di Yogyakarta dia bergabung dengan Sanggar Saraswati, perkumpulan pelajar Bali yang berkegiatan memainkan gamelan dan menari Bali. Di sana, ia akrab dengan Gunarsa, yang akhirnya membawa perbincangan untuk membuat sanggar seni rupa layaknya Sanggar Bambu, namun lebih mencirikan Bali.

Baca juga Bahasa Spiritual Made Wianta

Gagasan itu akhirnya direalisasi dengan nama awal Sanggar Dewata. Nyoman Gunarsa menjabat sebagai ketua umum, Wianta menjadi Ketua 1, Wayan Sika bertindak sebagai sekretaris, dan sisanya menjadi anggota. Tahun-tahun berikutnya Sanggar Dewata berkembang dan kedatangan anggota baru seperti Kedol Subrata, Nyoman Erawan, Made Djirna, dan Budiana.

“Pada waktu itu, kolektor dan galeri hanya ada beberapa. Media seni juga belum ada. Jadi memang angkatan ’70 harus berjuang di era yang minim fasilitas. Baru setelah era 80-an, kolektor dan galeri bermunculan dan kesempatan berpameran berdatangan,” ujar Wianta.