Kesakitan dan penderitaan tak selalu tampak mengerikan atau buruk. Ada sejumlah karya seni yang berangkat dari penderitaan atau dengan sengaja menjadikannya sebagai objek. Kita bisa melihat lukisan Pieta with St. Jerome and Santa Maria Magdalena karya Pietro Perugino atau yang lebih ekstrem lagi kengerian dalam bongkahan daging di karya Chaim Soutine, Carcass of Beef. Meskipun narasi di dalamnya tentang kesedihan atau sesuatu yang buruk rupa, namun karya-karya tersebut berhasil memperlihatkan adanya keindahan dan keanggunan yang mempesona.
Sayangnya tidak semua seniman yang termotivasi hal ini, berhasil melakukannya. Salah satunya Jumaadi, perupa Indonesia yang menyandang gelar Master of Fine Art dari National Art School di Sydney. Seperti ada yang tak selesai dari 75 karyanya yang ditampilkan dalam sebuah pameran tunggal bertajuk The Figural Poetry of Jumaadi di Galeri Art:1 Jakarta, dari 29 Januari – 4 Februari 2013. Entah itu disengaja atau tidak, namun karya-karyanya – terutama yang berupa dua dimensi – memperlihatkan kurang matangnya eksekusi konsepnya.
Ada tiga media yang diolah Jumaadi dalam 75 karyanya ini, yaitu kertas, kanvas, dan logam. Pada beberapa lukisannya, Jumaadi menuliskan puisi – sebagai salah satu hobinya. Pendekatan ini di satu sisi menguatkan keinginan Jumaadi untuk memunculkan kesan puitis, namun di sisi lain memperlihatkan ketidakpercayaan diri bahwa bahasa gambar semata pun bisa memunculkan puitisasi.
Secara keseluruhan, karya patung Jumaadi lebih menarik ketimbang karya dua dimensinya. Terlepas dari sudut pandang tema, pengungkapan artistik – entah disengaja atau tidak – pada karya-karya gambarnya, kurang tereksekusi dengan baik. Tidak tampak adanya aspek dimensi ruang. Objek-objek gambarnya ditampilkan datar (flat) seolah hanya satu sisi kehidupan. Cara menyapukan warna juga terlihat tidak diperhitungkan tebal dan tipisnya. Jika persoalan-persoalan teknis ini dilakukan secara sengaja, ataupun memiliki tujuan tertentu, tetap saja hasil akhirnya kurang memunculkan dorongan bagi penonton karyanya untuk merasa menikmati.
Karya Jumaadi memang lebih mengedepankan konsep. Temanya kuat dengan narasi-narasi teks yang meski personal, namun bisa dipahami ataupun komunikatif. Meski demikian karya seni seharusnya tak sekadar menjual konsep. Ketika konsep bisa bersinergi dengan bahasa ungkap yang digunakan senimannya, maka pembacaan karya tidak hanya akan berhenti pada batasan memahami, tapi juga memberikan aspek kenikmatan pada penonton.
Sedikit kenikmatan saat menonton pameran Jumaadi ini datang dari karya-karya patungnya, baik yang dari bahan perunggu maupun lempengan-lempengan aluminium. Perupa kelahiran Sidoarjo, 25 September 1973 ini membuat 14 patung yang terinspirasi 14 perhentian yang dilakukan Yesus saat memikul kayu salib ke Golgota. Seluruh patung-patung tersebut menampilkan sosok menyunggi beban dalam berbagai bentuk: rumah, gajah, anak kecil bersayap, hingga pesawat terbang.
Jumaadi menampilkan sosok-sosok itu sebagai penggambaran tentang masyarakat yang mengalami perpecahan kemudian melakukan penjarahan dengan mencuri kulkas dan melalui jalan umum. Namun jika dibaca lebih lanjut, sebenarnya ada aspek Sisyphus dalam karya-karya patung Jumaadi ini. Seolah menggambarkan hukuman memikul beban tiada henti seperti yang dialami Sisyphus dalam mitologi Yunani.
Pameran ini juga menampilkan video berdurasi 10 menit tentang Jumaadi yang berkisah tentang ayahnya yang pernah membuatkan perahu untuknya. “Desa kami di ujung, jalannya kecil masih tanah dan dekat dengan hutan bakau. Karena kami kan tinggal dekat air, sungai banyak waktu itu, jadi perahu menjadi sarana efektif menghubungkan ke tempat-tempat berikutnya…” ucap Jumaadi bercerita. Kenangan tentang perahu ini muncul di sejumlah karya gambarnya, salah satunya sebuah lukisan yang memperlihatkan seorang lelaki menyunggi perahu. Penempatan ini seolah menyampaikan bahwa kenangan pun bisa menjadi beban dan menggelayuti perjalanan hidup.
Semua karya dalam pameran ini dihasilkannya dalam waktu kurang lebih enam bulan. Untuk kisaran harga karya-karyanya di atas kertas di bawah Rp10 juta, karyanya di atas kanvas antara Rp6 juta-Rp60 juta, sedangkan patungnya Rp75 juta-Rp95 juta.
Jumlah Karya