Cara pandang pemerintah dan masyarakat Indonesia pada upaya revitalisasi kawasan Kota Tua, masih tertinggal jauh dengan cara berfikir negara-negara sahabat seperti Singapura mapun Cina. Kita seakan sangat terganggu saat mendengar sebuah bangunan tua bersejarah beralih fungsi menjadi pusat hiburan (entertainment), pusat perbelanjaan, atau pun hotel. Di dalam benak, Kota Tua hanya layak menjadi kawasan untuk mengenang dengan bangunan-bangunan tua yang berfungsi sebagai museum.
Namun, persepsi itu dimentahkan oleh sekelompok pelaku usaha yang menjalankan bisnis di bidang fashion, makanan, dan hiburan peserta diskusi terbuka di lantai dua kantor Pos Fatahillah Kota Tua, Jakarta, pada 8 Maret 2014 . Mereka yakin kolaborasi dunia komersial yang kini merajai mall-mall di ibukota bersama teman-teman seniman dan budayawan, mampu mendukung upaya revitalisasi Kota Tua. Setidaknya strategi itu terbukti sukses di Singapura dan Shanghai.
“Kuncinya 3C, yaitu collecting berbagai pihak, lanjut dengan collaboration, dan commerce. Tentu saja yang dikumpulkan bukan hanya komunitas dan pemerintah, tetapi juga pelaku bisnis. Karena mereka mampu menghadirkan komunitas, dan di Indonesia komunitas sangat power full,” kata Irvan A. Noe’man, pakar desain arsitektur Indonesia, selaku pembahas dalam diskusi tersebut.
Namun, tentu saja kolaborasi ini tidak boleh “mengibiri” fungsi kawasan kota tua sebagai pusat sejarah, budaya, dan ruang publik di Jakarta. Seluruh kegiatan bisnis dan usaha harus tetap mendukung dan terintegrasi pada upaya revitalisasi. “Jangan terjebak pada konstruksi mall,” katanya.
Arnes Lukman, CEO Plaza Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif JEFORAH, mengatakan inti dari kolaborasi ini adalah untuk memanggil sebanyak mungkin pengunjung ke kota tua. Dengan begitu roda bisnis di kawasan tersebut akan terus berputar, dan kehidupan di kota tua terjaga.
Berdasarkan pengalamannya mengelola sejumlah pusat perbelanjaan di ibukota, bisnis makanan, fashion, dan hiburan merupakan pancingan paling efektif untuk memanggil kerumunan massa ke sebuah kawasan. Namun, memasukkan hal baru ke dalam ekosistem kota tua yang sudah memiliki sistem hidupnya sendiri menurut Arnes tidaklah mudah.
“Bersama-sama kita harus menentukan lebih dulu konsep “kehidupan” di kota tua akan mengarah seperti apa. Komunitas apa saja yang akan mengisinya, dan passion seperti apa yang akan dibawa,” kata Arnes dalam diskusi tersebut. “Hal terpenting adalah seluruh upaya yang sudah dirintis saat ini wajib berkelanjutan”.
Inu Herlina – yang pernah menggelar berbagai kegiatan fashion di Jakarta – mengatakan perubahan wajah Kota Tua Jakarta dan rencana pengembangannya yang melibatkan dunia bisnis komersial, membuka peluang kawasan ini menjadi tujuan wisata baru. Apalagi jika bisa menyenergikan antara pelaku usaha lokal dalam payung UKM dengan pelaku yang biasa membawa brand-brand ternama di mall.
“Selama ini jika ada tamu dari luar negeri yang ingin mencari oleh-oleh di Jakarta sembari makan makanan khas dan berwisata, saya harus membawa mereka ke sejumlah lokasi yang berbeda-beda. Saya rasa Kota Tua Jakarta nantinya bisa memenuhi kekosongan fasilitas itu,” ungkapnya.
Sementara itu Laksmi Pamuntjak, kurator Fatahillah Food Festival, menilai perlu sebuah standar baru untuk seluruh usaha dan bisnis di kawasan tersebut sehingga memiliki kekhasannya tersendiri. Dan untuk mendukung itu, tentu saja dibutuhkan sebuah ruang permanen sehingga prosesnya bisa berjalan secara berkelanjutan. “Bisa diawali dengan pendirian sebuah food hall yang menyajikan masakan-masakan tradisional Indonesia,” katanya.