
“Gunakan telinga baik-baik dan nikmati suara apa saja di sekitar kita, sekalipun yang berasal dari tubuh sendiri.”
Kalimat itu pernah meluncur dari Slamet Abdul Sjukur dan memang ucapan tersebut sangat relevan dengan sosok komponis musik kontemporer tersebut. Hingga saat meninggalnya pada Selasa, 24 Maret 2015, sosoknya yang humoris namun serius dalam berkarya meninggalkan kesan mendalam bagi keluarga, rekan, dan murid-muridnya.
“Bicaranya pedas dan keras,” ujar Michael Asmara, salah seorang komponis Indonesia, saat menceritakan pengalaman pertama bertemu dengan Slamet. “Saat itu saya mementaskan karya pertama saya tahun 1982 di Festival IKI Surakarta. Waktu itu saya tahun ke dua di AMI (Akademi Musik Indonesia Yogyakarta) yang sekarang jadi ISI Yogyakarta. Sedikit gemetar juga saya melihat beliau. Maklum saya merasa seperti melihat dewa musik,” jelasnya lagi.
Michael mungkin tidak berlebihan menyebut sosok yang sering dianggap sebagai Bapak Musik Kontemporer Indonesia ini sebagai dewa musik. Konsistensi dan prestasi berjalan seimbang dalam kiprah seni Slamet, meski pengakuan lebih banyak datang dari negara luar. Di Indonesia, memang musik Slamet tenggelam di bawah gemerlap hingar bingar musik industri. Karya-karyanya seperti Ketut Candu, String Quartet I, Silence, Point Core, Parentheses I-II-III-IV-V-VI, Jakarta 450 Tahun, dan Daun Pulus bisa jadi hanya dikenal oleh kalangan terbatas. Tapi fakta bahwa musiknya telah dimainkan oleh banyak grup orkestra dari Prancis, Jepang, Hungaria, Malaysia, Hongkong, Denmark, Swiss, Jerman, dan banyak negara lain; penghargaan Bronze Medal dari Festival de Jeux d’Automne in Perancis (1974), Piringan Emas dari Académie Charles Cros di Perancis(1975, untuk karyanya berjudul Angklung), dan Medali Zoltán Kodály dari Hungaria (1983), Millenium Hall of Fame dari American Biographical Institute (1998), Officer de l’Ordre des Arts et des Lettres (2000); adalah bukti bahwa sang maestro sudah tidak butuh ditahbiskan lagi sebagai sosok penting di dunia seni musik.
Memulai pendidikan formalnya di Sekolah Musik Indonesia “Semind” Jogjakarta (1952-1956) dengan bekal les piano saat berumur sembilan tahun, Slamet semakin memperdalam pengetahuannya tentang piano di Ecole Normale de Musique saat ia mendapat beasiswa untuk belajar musik dari Pemerintah Perancis (1962-1967). Di Perancis jugalah Slamet memulai kegiatan mengajarnya selama 14 tahun sebelum kembali ke Indonesia pada 1977 untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi musik. Sayangnya, gagasan yang dibawa Slamet sering terbentur dengan visi institusi dan kurikulum tempatnya mengajar sehingga beberapa kali ia harus melepaskan pekerjaannya sebagai pengajar musik.

Selain dari institusi tempatnya mengajar, penolakan dan pengucilan juga datang dari murid-murid yang pernah belajar padanya. “Beberapa murid pertamanya ada yang tidak mengakuinya sebagai guru mereka, dengan alasan mereka tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Slamet,” kata Michael.
Namun hal tersebut tak lantas membuat nama Slamet kehilangan kehormatannya. Banyak murid serta rekan yang pada akhirnya justru menghormati idealisme sang seniman. Michael menambahkan, “Saya tidak pernah secara langsung belajar dari dia. Tapi saya belajar dari jauh tentang bagaimana dia berjuang sebagai komponis musik kontemporer di Indonesia dan bagaimana perkembangan karya-karyanya dari waktu ke waktu serta bagaimana reaksinya terhadap penolakan murid-muridnya.”
Di balik perjuangan Slamet dalam kancah musik kontemporer Indonesia, ia menghabiskan seumur hidupnya untuk berjuang melawan penyakit di kakinya. Penyakit folio yang menyerangnya saat usia tiga tahun, membuatnya tidak bisa banyak ikut bermain bersama anak-anak lain. Karena itulah ayahnya membelikan piano untuknya saat berusia sembilan tahun. Siapa sangka piano yang awalnya dibelikan untuk menjauhkannya dari dunia luar juga gangguan teman-temannya, malah membuatnya melangkah ke berbagai penjuru dunia dan melahirkan penghargaan serta penghormatan dari banyak penikmat karyanya.
Karir Slamet memang berakhir saat ia terjatuh dan kakinya patah melesat keluar engsel yang akhirnya merenggut nyawanya. Tapi nama, karya, dan jejak idealismenya sudah berada abadi di catatan musik kontemporer Indonesia – sebuah tempat yang melebihi jangkauan langkah kaki. “Dia merupakan pahlawan musik yang sebenarnya harus dihormati oleh bangsa ini, walaupun dia tidak butuh penghormatan itu. Dan semangatnya mesti menjadi cambuk buat perkembangan musik seni di Indonesia dan dunia,” ujar Michael.