Ada beragam cara untuk menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat tentang sejarah kotanya. Salah satunya dengan kegiatan seni. Inilah yang dilakukan Roemah Seni Sarasvati dengan menggelar pameran foto berjudul “Art Deco Kiwari”.

Pameran yang sekaligus sebagai pembukaan galeri Roemah Seni Sarasvati ini  dikuratori oleh Eddy Soetriyono dan diselenggarakan bekerja sama dengan Air Foto Network dan Bandung Heritage Society.

Dalam pameran yang berlangsung dari 22 Februari – 22 Maret, dipamerkan 16 karya yang terseleksi dari 55 karya yang dikirimkan berbagai komunitas fotografi di Bandung. Keenam belas foto tentang bangunan-bangunan art deco tersebut merupakan karya sembilan fotografer, Adithya Zen, Andriana Tjahya, Krisna Trisila Satmoko, Lauw Nam Ie, Samuel Rama Surya, Sandi Jaya Saputra, Sandy Wijaya, Utami Dewi Godjali, dan Willi.

Meski mengambil tema bangunan-bangunan art deco di Bandung, 16 karya foto yang dipamerkan bukanlah berupa foto arsitektur ataupun jenis foto jurnalistik, namun lebih berupa fotografi seni yang menjadi tantangan tersendiri bagi para fotografer untuk membuat karya yang tetap memperlihatkan jejak objek-objek bangunan Art Deco, namun dikemas dengan elemen-elemen artistik lainnya.

Selain pameran, juga diadakan diskusi dengan topik “Nilai Seni dan Investasi Sebuah Karya Foto” dengan Oscar Motuloh dan Eddy Soetriyono sebagai pembicara pada 23 Februari lalu, dan diskusi tentang “Hilangnya Bangunan Bersejarah Bandung” dengan Tisna Sanjaya dan Ridwan Kamil sebagai pembicara yang akan diadakan pada 18 Maret mendatang.

Dalam diskusi tentang Nilai Seni dan Investasi Sebuah Karya Foto, Oscar menyatakan bahwa peranan kurator dalam melakukan penilaian terhadap sebuah karya foto, bisa mempengaruhi harga foto tersebut. Sayangnya dibandingkan lukisan, posisi karya foto memang masih di bawah lukisan dilihat dari sisi art market. “Ini juga dikarenakan masih kurangnya perhatian pengamat dan kurator seni terhadap fotografi,” ujar Oscar Motuloh, yang saat ini memimpin Kantor Berita Foto Antara serta juga sebagai Kepala Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara.

Sementara Eddy Soetriyono menjelaskan bahwa ukuran harga sebuah karya seni rupa baik itu lukisan, patung, maupun foto, ditentukan oleh nilai kultural yang dimunculkan karya tersebut.

Selain 16 karya sembilan fotografer, pameran ini juga memajang koleksi foto-foto bangunan bersejarah di Bandung dari dokumen Sarasvati dan KITLV. Dengan demikian, pengunjung bisa melihat perubahan semacam apa yang terjadi di masa lalu terhadap bangunan-bangunan tersebut dan kondisinya saat ini.

Pemilihan tema “Art Deco” didasari oleh keinginan Sarasvati untuk mengajak publik lebih menaruh perhatian terhadap sejarah dan artefak kota Bandung. Hal ini didukung dengan sejarah yang melingkupi keberadaan Roemah Seni Sarasvati yang dulunya merupakan kediaman kakek dan nenek Bapak Lin Che Wei, selaku pemilik.

Rumah tersebut masih memiliki detail arsitektural yang berakar pada sejarah kolonial: terlihat baik pada tangga, jendela, perabot yang ditinggalkan, hingga tulisan berbahasa Belanda – Het Ledikanten Huis yang artinya Toko Penjual Ranjang dan WESTON – yang masih ada di ruang utama  galeri. Setelah sekitar lima tahun dibiarkan kosong, pemugaran rumah unik ini dimulai di tahun 2012, dengan pendekatan yang simpatik terhadap sejarah gedung tersebut.

Bandung sebagai salah satu kota modern di masa kolonial Belanda memang kental dengan gaya arsitektur Art Deco. Berdirinya banyak hotel, restoran, gedung perkantoran, dan pusat kebudayaan merupakan bukti modernisasi yang dialami Bandung pada masa itu.

Pemilihan fotografi untuk pameran ini cukup tepat, karena medium tersebut mampu memberikan jejak rekam sejarah yang aktual. Para fotografer dalam pameran ini menggunakan berbagai metode dan medium dalam proses berkarya, mulai dari kamera film analog, kamera digital, hingga kamera telepon seluler.

Semua foto yang ditampilkan di sini memang memasukkan image-image gedung bersejarah di Bandung sebagai elemen dalam karyanya. Tetapi image tersebut diolah lagi sesuai dengan sudut pandang tentang isu yang ingin diangkat oleh masing-masing fotografer, sehingga karya yang ditampilkan tidak hanya bersifat dokumenter.

Sejarah Art Deco adalah identitas kota Bandung, yang jika tidak dipelihara akan dengan mudah lenyap dari benak para warganya. Di satu sisi, pameran ini memang upaya Sarasvati untuk mencegah “amnesia sejarah” lebih lanjut. Perlu diingat, bangunan-bangunan yang ada disebuah kota adalah saksi sejarah kota tersebut, dan dengan menelantarkan mereka berarti kita menghapus sejarah kota dari ingatan.

Kesembilan seniman fotografi yang terlibat di pameran ini menampilkan wujud Art Deco yang berbeda-beda. Pada karya Stairway, Sandy Wijaya mengangkat sisi interior Gedung Pos, dimana garis yang membentuk tangga dianggap memiliki karakter Art Deco yang kental. Willi, dengan karya Menunggu Waktu, menggambarkan keberadaan bangunan bersejarah di Bandung di tengah pembangunan kota yang makin gencar. Karya-karya yang dipamerkan disini memiliki variasi yang luas, dan menyampaikan ragam wajah Art Deco yang tertinggal di Bandung saat ini.

Beberapa fotografer bahkan memasukkan unsur olah digital ke dalam karyanya untuk menghasilkan sebuah image baru yang jauh dari kesan representasional. Hal inilah yang menjadikan pameran ini tidak sekadar menjadi ajang untuk bernostalgia. Bahkan diharapkan pameran ini bisa menghidupkan kembali sejarah kota Bandung modern dan bagaimana korelasinya dengan identitas kota Bandung di tengah pembangunan yang sekarang terus menerus dilakukan.