Mujahhidin Nurrahman, Layer, 2012, paper cutting manual, 69 x 69 x 7 cm
Kembali digelar untuk ketiga kalinya tahun ini, kompetisi Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) pada 10 Mei 2013 lalu mengumumkan pemenangnya di Galeri Seni Lawang Wangi dihadiri kurang lebih 150 apresiator seni dari mahasiswa, pecinta dan pelaku seni. Tahun ini, dewan juri yang terdiri dari Asmudjo Jono Irianto (Kurator), Carla Bianpoen (Jurnalis Seni), Mella Jaarsma (Seniman), Tan Siuli (Asisten Direktur dan Kurator Singapore Art Museum), dan Wiyu Wahono (Kolektor), hanya meloloskan 17 seniman finalis untuk masuk ke tahap kedua penjurian. Jumlah tersebut lebih sedikit dari tahun sebelumnya yang mencapai 25 seniman finalis.
Keputusan juri mengurangi jumlah finalis yang lolos dalam BaCAA #3 ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah seniman yang dinilai memenuhi syarat yang telah ditetapkan juri untuk masuk sebagai finalis. Namun, keputusan itu semakin memperkuat rumor seputar BaCAA yang dikabarkan mulai ditinggalkan seniman-seniman dari luar kota Bandung. Hal itu terlihat pula dari menurunnya jumlah seniman peserta yang mengirimkan karyanya. Saat BaCAA #2 jumlah peserta yang mendaftarkan diri mencapai lebih dari 400 seniman. Tahun selanjutnya menurun menjadi 200 pendaftar.
Andonowati dari ArtSociates selaku penyelenggara mencoba mengklarifikasi pemberitaan miring tersebut. Menurutnya, jumlah pendaftar menurun karena persyaratan yang ditetapkan dalam BaCAA #3 jauh lebih ketat dibandingkan sebelumnya. Misalnya, seniman peserta harus mencantumkan foto karya selama tiga tahun terakhir dan 10 karya terbarunya. Nyatanya, tidak semua peserta tetap aktif dalam jangka waktu tersebut, hingga akhirnya dinyatakan tidak memenuhi syarat meski karyanya berkualitas.
Pengurangan juga terjadi di komposisi juri yang hanya terdiri dari lima orang. Berbeda dengan penyelenggaraan BaCAA sebelumnya yang mencapai tujuh orang. “Itu hanya masalah jumlah yang berkurang. Namun komposisinya tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Seluruh dewan juri yang dipilih tetap mewakili berbagai kalangan penting di bidang seni seperti pasar, akademisi, wacana, dan publikasi,”kata Andonowati.
Ketimbang membahas rumor, Andonowati mengajak seluruh pihak untuk kembali fokus pada tujuan penyelenggaraan BaCAA sejak awal, yakni merangsang munculnya seniman-seniman muda berbakat yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan hingga bisa mendapatkan tempat di peta seni internasional.
ArtSociets juga telah menjalin kerja sama dengan Centre Intermodes, La Rochelle, Perancis, untuk program pertukaran residensi. Tahun lalu, dua pemenang BaCAA #02 – Bagus Pandega dan Octora Chan – telah mengikuti program residensi tersebut selama tiga bulan yakni Oktober-Desember 2012.
Tahun ini, dewan juri memilih Leonardiansyah Allenda dengan karya instalasinya berjudul Untitled sebagai pemenang BaCAA #03. Karya Leo ini merupakan salah satu hasil residensinya di Cemeti Art House Yogyakarta pada 2011 lalu. Beberapa karya seni instalasi dan Video Mapping miliknya bahkan telah menjadi koleksi pribadi Andonowati.
Dalam narasinya, Leo menuliskan bahwa karyanya kali ini – payung kertas khas masyarakat Tionghoa dengan kuncupnya yang terbalik, sebagai wujud dari beban tradisi yang harus diemban oleh masyarakat modern Indonesia. Di satu sisi, payung yang terbuka dan digantungkan mendekati langit-langit terkesan melindungi. Namun di sela-sela rangka payung muncul jarum-jarum yang menggantung. Seakan-akan, Leo ingin menunjukkannya sebagai bentuk intimidasi bagi siapa pun yang berdiri di bawahnya.
Sementara itu, tiga pemenang lainnya adalah karya video Muhammad Akbar berjudul In Gaze Control #2 yang menampilkan wajah perempuan tengah tersenyum ramah. Namun, senyum itu kemudian menjadi tampak dipaksakan dan secara perlahan mendatangkan rasa tidak nyaman dan bersalah kepada penatapnya. Melalui karyanya ini, Akbar ingin menunjukkan persoalan ‘tatapan’ dalam politik identitas di masyarakat patriarki. Umumnya, para lelakilah yang memiliki kekuasaan untuk menatap (subjek), sementara perempuan sebagai pihak yang ditatap (objek).
Pemenang selanjutnya adalah Mujahhidin Nurrahman yang menampilkan karya paper cutting manual berjudul Layers. Biasanya medium kertas dan teknik paper cutting dikategorikan sebagai karya craft. Namun, di tangan Mujahhidin karya paper cutting sukses ‘menyetarakan’ diri dengan seni rupa kontemporer lainnya.
Melalui karyanya, Mujahhidin mencoba menyampaikan pandangan stereotip terhadap dunia Islam yang kerap identik dengan kekerasan dan teror. Sepintas karyanya tampak biasa, namun bila diperhatikan dengan saksama maka pola yang ditampilkan akan tampak seperti senjata AK-47.
Terakhir, karya instalasi Syaiful Aulia Garibaldi berjudul Atoah epok: Ehoor Lamura (Like Art: Fungal Statement) yang menampilkan kotak kaca berukuran 200 x 300 cm dengan jamur-jamur beragam ukuran di dalamnya. Keberadaan jamur-jamur itu guna menunjukkan bahwa dalam segala proses selalu ada awal dan akhir selayaknya ada kelahiran dan kematian. Karyanya berhasil menujukkan bahwa karya seni dapat muncul secara interdisiplin, seni, dan mycology (ilmu fungi).
Di balik kesuksesan keempat pemenang meraih penghargaan, berkurangnya jumlah peserta di BaCAA #3 tidak menjadi indikasi bahwa antusiasme seniman emerging menurun terhadap kompetisi yang selayaknya bisa mendorong bertumbuhnya semangat para seniman muda untuk berkarya.
Muhammad Akbar, In Gaze Control #2, 2011, high definition video 1080p. 42″ HDTV, duration 10 minutes