Pementasan Mahabharata, yang digagas Hiroshi Koike sebagai bridge project, singgah di Indonesia. Setelah menampilkan bagian pertamanya di Kamboja pada 2013; lalu mampir ke negeri asal kisah Mahabharata, India, pada 2014 untuk bagian kedua sebelum dilanjut ke Jepang pada 2015 demi pentas Mahabharata jilid 2,5; Indonesia mendapat jatah bagian ketiga.
Pertunjukan yang akan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, 28-29 September 2016 ini mengambil judul Kurusetra War dan menyajikan bagian peperangan antara keluarga Pandawa dan Kurawa di Kurusetra.
Sejak awal, pertunjukan Mahabharata yang dibawa Koike berkeliling negara-negara Asia pengadopsi Mahabharata selalu melibatkan seniman-seniman di negara persinggahan. Sampai kali ketiga ini, hanya Lee Swee Keong (Malaysia), Testuro Koyano (Jepang), Sachiko Shirai (Jepang) yang tak pernah absen sejak edisi perdana. Sisanya, audisi terus digelar guna memberi ruang bagi pemain-pemain lokal.
Dari proses seleksi itulah terpilih Gunawan Maryanto, Suryo Purnomo, Riyo Tulus Pernando, Sandhidea Cahyo Narpati, dan Wangi Indriya yang akan ambil bagian dalam Kurusetra War. Tak hanya itu, seniman-seniman lokal dari cabang kesenian lain juga diajak ikut serta, di antaranya perupa Agung Kurniawan, desainer Lulu Lutfi Labibi, dan komposer Peni Candra Rini.
Menilik komposisi pelakon yang hanya sembilan, tentu terbersit sedikit keheranan. Pasalnya, kisah peperangan Pandawa dan Kurawa bukan pertempuran dengan orang sedikit. Banyak karakter yang punya peran penting dalam lakon tersebut.
Untuk mengakali hal ini, para pemain menggunakan topeng untuk berganti-ganti tiga sampai empat peran yang harus mereka mainkan.
Selain perkara jumlah tokoh, masalah lain yang diakali Koike dan timnya adalah persoalan versi Mahabharata yang diangkat.
Sejak menyebar bersama perjalanan agama Hindu di Asia, Mahabharata punya versi yang berbeda-beda di negara-negara barunya. Misalnya, sosok Arjuna di Indonesia berbeda tafsiran rupanya dengan yang ada di Kamboja.
Untuk mengatasi hal ini, Koike melakukan dialog dengan para pemain. Tujuannya satu: ia ingin memakai Mahabharata versi Jawa. Sosok karakter, penyebutan nama, dibuat agar sama seperti yang ada di Jawa.
“Penonton kami adalah orang Indonesia, karena itu kami ingin menghadirkan pertunjukan yang sudah mereka tahu,” ujar sutradara Jepang tersebut pada jumpa pers, 27 September 2016, di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.
Lalu, mengapa Mahabharata?
Selain karena alasan jamaknya negara-negara Asia yang dimasuki cerita itu, rupanya Koike melihat relevansi kisah Mahabharata dengan situasi sosial di Asia saat ini. Menurutnya, tragedi kemanusiaan yang ada di Mahabharata tidak jauh dari kenyataan di depan mata penduduk Asia.
“Kita juga menghadapi masalah besar dalam dunia nyata, seperti polusi, tsunami, ancaman nuklir dan sebagainya. Ini adalah situasi yang berbahaya untuk kita dan tragedi kemanusiaan macam begini ada di Mahabharata.”
Rencananya, Koike akan melanjutkan rangkaian pementasannya ke Thailand dan Malaysia dua tahun ke depan. Lalu sebelum menyambangi India setahun kemudian serta menutup rangkaian bridge project-nya di Olimpiade Tokyo 2020.