Nani Zulminarni di simposium "Reconcilling State, Community, and Cultural Devides"

Bahasa Inggris menggunakan dua kata berbeda untuk perempuan yang bercerai (divorced) dan perempuan yang ditinggal mati suaminya (widow). Masyarakat Indonesia cukup satu kata saja: janda.

Sayangnya, satu kata tersebut menyeret banyak makna bersamanya. Kata ‘janda’ selalu lekat dengan stigma negatif di beberapa kelompok masyarakat kita, seakan merujuk pada perempuan yang buruk,” ujar Nani Zulminarni.

Ucapan itu ia lontarkan pada salah satu dari tiga simposium yang berlangsung di hari ketiga World Culture Forum 2016. Panggung yang dibagi Nani dengan Celio Turino, Chen-Kuan Hsing, dan Shadia Marhaban adalah panggung yang membicarakan pilihan sikap yang dapat diambil negara untuk menggandeng komunitas dan pemeluk budaya berbeda.

Dalam sesinya, Nani selaku pendiri Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), mengingatkan peserta simposium “Reconcilling State, Community, and Cultural Devides” tentang perkembangan kesetaraan gender yang menurutnya tidak berkembang benar di Indonesia. “Setelah orde baru, memang ada peningkatan, tapi dihitung sejak 50 tahun kemerdekaan, kita belum terlalu punya kemajuan,” ujarnya.

Nani juga menyampaikan setidaknya ada tiga kekuasaan yang melingkupi hidup perempuan, yakni kekuasaan formal, informal, dan invisible. “Yang pertama cukup baik karena sudah banyak perempuan yang dapat tempat di pemerintahan dan dilibatkan dalam proses membuat kebijakan. Tantangannya ada di dua yang lain.”

Berbeda dari kuasa pertama yang berkisar pada peraturan tertulis khususnya di pemerintahan, dua sisanya jauh lebih memusingkan sebab berkutat dengan norma, keyakinan, perspektif, dan sebagainya. Bersama organisasinya, Nani mengambil langkah-langkah agar stigma buruk janda jauh dari perempuan, salah satunya dengan mengganti label ‘janda’ dengan ‘perempuan kepala keluarga’, selain membantu perempuan-perempuan tersebut mengelola sumber daya finansialnya.

Gerakan sosial seperti yang diperbuat Nani juga dilakukan Celio Turino di Brazil. Sadar akan beragamnya komunitas yang ada di negaranya, ia menggagas Culture Points, di mana setiap komunitas daerah bicara sebagai dirinya dan membagi pengetahuan atas dirinya dengan komunitas lain yang tersebar, dari kota hingga pedalaman.

Celio Turino di simposium
Celio Turino di simposium “Reconcilling State, Community, and Cultural Devides”

Informasi tersebut dipertukarkan lewat stasiun-stasiun multimedia di beberapa titik. Dari sana, cerita-cerita itu menyebar seperti cabang pohon. Ide ini diawali dari perubahan sederhana yang dilakukan Turino dan Kementrian Kebudayaan Brazil. Alih-alih menampung pertanyaan rakyat akan apa keinginan mereka selaku pemerintah, mereka justru bertanya apa yang rakyatnya inginkan. Sebuah desa menginginkan perpustakaan dan berdirilah perpustakaan itu.

Pada intinya, Nani dan Turino sama-sama bicara soal pentingnya hidup dengan identitas budaya asli dan pentingnya campur tangan negara untuk menjamin keamanan dan kenyamanan keberlangsungannya. Benang merah ini ditarik pula oleh cerita Kuan-Hsing yang menemukan kekuatan lokalitas masyarakat Cina di tengah penelusuran silsilah leluhurnya sendiri. Soal campur tangan negara, refleksi Shadia atas pengalamannya menjadi mediator pelbagai konflik internasional membuat pikiran dan telinga peserta terusik. “Kita bicara perdamaian tapi juga membuat perang. Kita mengajarkan anak kita untuk menghargai orang lain, tapi kita takut bertemu orang kulit hitam atau orang Muslim di jalan. Harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, kenapa kita seperti ini?” kata perempuan yang menjabat Direktur Liga Inong Aceh ini lantang.

Seperti kata Shadia, di planet ini, budaya harus bicara lebih banyak di tengah rakus dan arogannya kuasa. Tapi tentu yang dimaksud ‘bicara’ bukan sekadar menggelar acara ngobrol-ngobrol berhari-hari belaka tanpa benar-benar mengeksekusi langkah-langkah perbaikan. Selain mahal dan membosankan, kegiatan macam itu bisa kita urus sendiri. Negara, dalam forum seperti WCF, tugasnya jelas lebih.