8. BaCAA #5 di Galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung (5 Oktober – 5 November 2017)

Ada banyak seniman handal yang terlahir dari Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) sebut saja Aliansyah Caniago, Eddy Susanto, Mujahidin Nurrahman dan lain-lain. Di tahun 2017 ini dari 15 finalis, 10 seniman (sebagian besar dari Bandung) adalah kelahiran tahun 1990-an. Event ini menjadi cukup penting sebagai batu loncatan para seniman muda untuk berkarya lebih “liar” lagi. Ide-ide segar nonkonvensional mendominasi karya dan membuat pameran ini sarat dengan sentuhan teknologi.
Holding Breath karya Cynthia Delaney, menampilkan data sekaligus instruksi berupa rumus. Tahanlah napas sebisa Anda, bagi waktu dengan 7,5 miliar (perkiraan jumlah manusia di bumi) maka Anda mendapatkan jumlah oksigen, yang diandaikan, Anda donasikan. Ada kesadaran tentang isu lingkungan yang digugah lewat nalar, bukan emosi.
Kemudian How Does It Feel To Be Refugee karya Etza Meisyara juga membuat tercengang. Etza membangun instalasi partitur raksasa yang terbuat dari peralatan makan, sebundel kertas yang bila diperdengarkan akan membawa pesan emosional mengenai rasanya menjadi seorang pengungsi.
Adapun dewan juri untuk BaCAA tahun ini adalah Agung Hujatnikajennong (kurator, Indonesia), Carla Bianpoen (jurnalis seni, Indonesia), Wiyu Wahono (kolektor seni, Indonesia), Susan Baik (galeris, AS) dan Valentine Willie (galeris, Malaysia).
Karya Terbaik #3

0° (Nol Derajat) karya Deni Ramdani menjadi unggulan utama dan banyak yang tidak menyangka akan keputusan juri tersebut. Bila dibandingkan dengan karya-karya lainnya, 0° (Nol Derajat) sangat “sederhana” namun muatan pesannya yang dekat dengan isu lingkungan membuat karya ini terdepan di antara karya-karya lainnya.
Baca juga BaCAA #5, Yang Konvensional Masih Harus Antre
Plastik berisi air dan segerombolan ikan mas, dilubangi bagian bawahnya dan digantung di atas sebuah gundukan tanah coklat menyerupai sebuah bukit gundul. Air dari lubang menetesi gundukan tanah di bawahnya, perlahan mengikis dan merusak bentuknya.
Metafor ini menggugah kita pada gagasan tentang isu kerusakan lingkungan yang kerap terjadi. Kondisi kritis muncul dalam karya itu: bentuk tanah yang perlahan rusak karena tetesan air, serta kehidupan ikan yang terancam karena air dalam plastik perlahan surut. Tapi hal lain yang mungkin luput, tetesan air juga menumbuhkan benih rumput dalam tanah. Ancaman kematian ikan-ikan yang perlahan, sekaligus menumbuhkan tunas-tunas rumput baru—ada ironi dalam karya ini.




