Getih Getah Joko Avianto di Asian Games

0
11282
instalasi "Getih Getah" karya Joko Avianto di Bundaran HI (doc. Joko Avianto)

Belakangan, nama Joko Avianto santer diberitakan terkait karya instalasi bambu “Getih Getah” yang dibuatnya dalam rangka hari kemerdekaan dan Asian Games. Instalasi tersebut disusun dari 1.500 bambu, 73 diantaranya menjadi penopang yang menyimbolkan 73 tahun perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain apresiasi, karya ini ternyata juga menuai kontroversi di media sosial dari segi estetis maupun politis.

Sementara itu, Joko Avianto bukanlah orang baru dalam hal karya instalasi temporer. Pria kelahiran 1976 ini merupakan jebolan dari Institut Teknologi Bandung dan telah malang melintang di berbagai pameran nasional maupun internasional. Terakhir, karyanya dipamerkan di gelara bergengsi Yokohama Triennale 2017, bersama dengan seniman dunia lainnya seperti Ai Wei Wei. Berikut adalah wawancara mendalam kami dengan beliau seputar perjalanan karir dan karya “Getih Getah”:

Joko Avianto, seniman yang berkarya dengan medium bambu (doc. Joko Avianto)
Joko Avianto, seniman yang berkarya dengan medium bambu (doc. Joko Avianto)

Mengapa memilih bambu sebagai medium utama?

Saya menggunakan bambu itu sejak 2003, tapi masih dibarengi dengan medium lainnya. Saya lihat bambu itu menarik, selain emang faktor sustainability-nya, bambu juga dekat dengan tradisi masyarakat Indonesia, bahkan, Belanda juga paham dengan bambu. Bambu baru menjadi main medium pada 2012. Awalnya gara-gara saya bikin instalasi besar untuk Art Jog. Ternyata apresiasinya cukup besar dan dari situ, saya mulai eksplorasi dan mantap menggunakan bambu.

Rata-rata berapa lama karya dibuat?

Sebulan lah, udah termasuk modul pemilihan bambu: batang, diameter, kelenturan, kuat tidaknya. Sedangkan untuk pemasangan [installing], sekitar 24 hari. Dulu pas saya bikin instalasi di Penang [George Town Festival, 2013] total sekitar satu bulan.

Baca juga Pameran Tunggal Samuel Indratma Yang Chaos

Bagaimana pengalaman Anda ketika di Yokohama Triennale 2017?

Pada Januari 2017, saya dihubungi pihak Yokohama Triennale. Mereka pernah melihat karya saya di Frankfurter Kunstverein [2015]. Kalo dihitung, saya seniman Indonesia ke-5 yang diundang ke sana. Dulu waktu Heri Dono diundang langsung sama pihak Yokohama Triennale [2001], saya ada di meja bareng mereka, waktu itu saya masih muda banget, ndengerin mereka ngomong, langsung mimpi kapan saya ke sana. Kemudian awal April 2017, saya berangkat ke Yokohama untuk research. Ada satu titik di venue yang dulu pernah digunakan untuk memasang karya Cai Guo-Qiang, Takashi Murakami, dan Anselm Kiefer, saya pengen karya saya juga ada di titik yang sama dengan mereka. Pada akhirnya, karya “Shimenawa” berhasil dipamerkan di tempat yang saya inginkan.

“Shimenawa”, karya Joko Avianto di Yokohama Triennale 2017 (doc. Joko Avianto)

Bagaimana Anda bisa ditawari untuk proyek kemerdekaan dan Asian Games?

Tepat satu Agustus saya ke pendopo karena dipanggil oleh Pak Gubernur [Anies Baswedan]. Sampai pendopo ada banyak jajaran biro Pemprov  dan juga pak gubernur. Ternyata, saya dimintai tolong untuk bikin instalasi bambu untuk Hari Kemerdekaan dan Asian Games. Narasi berkaitan dengan kayu dan semangat 17 Agustus. Sementara waktu yang dikasih cuma 13 hari. Saya gak bisa nolak dong, lawong tugas negara. Sama aja seperti Edhi Sunarso yang disuruh Soekarno bikin patung pas umur 22 tahun. Bisa apa kita. Di samping itu, karya saya juga bakal dipasang satu garis lurus dengan karya patung monumental lainnya: Nuarta, Sunarso, Munir Pamuncak. Hari itu juga setelah pertemuan, saya langsung ke lapangan, melihat kebutuhan nantinya, dan langsung berkoordinasi dengan para walikota dan camat. Saya benar-benar merasakan tuh yang namanya pangkas birokrasi. Habis itu saya balik dan langsung bikin sketch nya di kereta. Dari situ, bakal “Getih Getah”.

Baca juga Kelompok Jari Hembuskan Roh Lewat Eksplorasi Material

Darimana inspirasi “Getih Getah”?

Saya ambil cerita sejarah dari kerajaan Hindu terbesar di Nusantara, yakni Majapahit. Majapahit ini memiliki Getih Getah, pasukan tantara yang ditakuti banyak orang. Jika Getih Getah baris beriringan, yang bagian paling depan bawa kain slobong besar, orang-orang lihat slobong yang ketiup angina aja takut. Makanya, karya Getih Getah saya mengambil bentuk seperti windsock. Pengennya, orang lihat aja gentar, ini juga mengingatkan saya pada atlet yang berparade, siap berjuang untuk negara.

Bisa diceritakan bagaimana proses pembuatannya?

Total pembuatan 13 hari, sangat mepet. Installing [pemasangan] hanya enam hari. Ini bisa cepat juga karena hubungannya pemerintah, jadi bisa mengurai birokrasi.  Untuk proses pengecoran maupun scaffolding saya dibantu Jaya Konstruksi. Semuanya terjamin dan kerja mereka juga sangat cepat. Saya bisa bilang seperti ini karena setiap hari saya ada di lapangan, memantau pemasangan dari pagi hingga pagi lagi. Bambu-bambu yang dipakai, saya dapatkan dari Garut, Tasik, dan Sumedang. Bambu Garut dan Tasik memiliki kekuatan terbaik, saya pakai itu buat pondasi nya. Total ada 1.600 bambu.

Proses installing
Proses installing “Getih Getah” di Bundaran HI (doc. Joko Avianto)

Bagaimana dengan maintenance karya?

Saya melakukan kontrol tiap bulan, floating ulang dan melapisi pakai crystal coat. Meski mahal, crystal coat memang bagus, mengingat kita gak tahu beberapa bulan ke depan karya menjadi bagaimana. Kita mesti memikirkan berbagai macam indikator, misal karya saya di Jerman bentuknya masih bagus setelah beberapa bulan, benar-benar tidak berubah. Kalau ada perubahan sekecil pun saya pasti ingat dan ngeh. Udara bersih, cuaca, polusi, dan faktor lainnya mesti dipertimbangkan. Sedangkan ini di Jakarta, kita tahu sendiri seperti apa.

Baca juga Bayi Dari Hubungan Sesama Jenis di Indonesia Netaudio Festival 3.0

Ada pihak yang mengkritik karya Anda, mulai persoalan pemborosan dana 550 juta untuk karya temporer hingga disangkutpautkan dengan isu politik. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya tak pernah menyangka bakal seperti ini jadinya. Isu diblunder kemana-mana. Kalau kata kawan-kawan jurnalis, ini ada penggiringan isu dan saya terseret di dalamnya. Saya juga tidak mau ambil pusing, toh kebutuhan saya untuk berkarya dan bagi saya seni itu tidak boleh berpihak. Untuk bambu-bambu itu, awalnya saya tidak pernah mengajukan angka segitu. Saya juga tahu diri. Itung-itungan 550 juta keluar dari pihak Pemprov. Mungkin itu total keseluruhan, karena yang saya terima bukan berupa uang tapi lebih ke barang dan jasa.  Kita tahu gak murah lah bayar Jaya Konstruksi, lighting, safety, dan tukang yang memang diharuskan bekerja cepat. Belum lagi hal-hal remeh temeh lainnya.

Apa rencana Anda setelah instalasi ini dibongkar (deinstall)? Apakah akan didaur ulang atau ada treatment khusus?

Jujur saya belum ada rencana ke depannya bakal gimana, yang pasti karena ini organik jadi menurut saya bakal lebih mudah untuk di-recycle.