Jika selama ini Ida Bagus Putu Purwa dikenal menggambarkan objek tubuh dalam bentuk tunggal, kali ini ia menampilkan tubuh-tubuh itu secara berkelompok, pada bidang-bidang warna yang lebih beragam, dan penggunaan media kertas. 

Tubuh-tubuh kekar dengan lekukan otot yang tampak nyata, saling bersinggungan tak teratur di dalam satu kanvas dengan berbagai posisi. Ada yang duduk meringkuk seakan-akan merasa takut. Ada pula yang menungging, jongkok, berbaring, dan telentang sembari meregangkan tubuh bak pertunjukan tari kontemporer.

Kemunculan figur-figur itu kian ramai dengan adanya warna-warna terang nan kontras di bagian latar. Sejenak, warna-warna itu berhasil mengalihkan fokus pandangan pengunjung. Ternyata itulah yang diinginkan sang pelukis yang menjadikan warna latar sebagai fokus utama bukan figur-figur kekar yang dijadikan sebagai ‘figuran’. Bahkan, di beberapa lukisan warna-warna mencolok itu dipilih sebagai tema.

Lukisan-lukisan tersebut adalah karya terbaru dari pelukis berbakat asal Bali, Ida Bagus Putu Purwa, yang ditampilkan dalam pameran solo keduanya di galeri dia.lo.gue artspace, Kemang-Jakarta. Ada 12 karya terbaru yang ditampilkan dalam pameran yang berlangsung sejak 18 April hingga 12 Mei. Adapun tajuknya adalah Imba Tubuh (“Illustrating the Human Body”) yang dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti sosok atau bentuk.

Menjadikan tubuh sebagai objek karyanya, bukanlah kali pertama ini dilakukan Purwa. Namun dalam pamerannya kali ini, Purwa melakukan eksplorasi yang berbeda. Dalam katalog pameran, Vidyasuri Utami – yang diminta Purwa untuk menerjemahkan pameran ini ke dalam tulisan – menuliskan bahwa Purwa menampilkan sosok-sosok tubuh itu dalam berbagai gerakan atau posisi yang terbekukan – dalam ranah tari Bali diistilahkan sebagai agem – yang kemudian dikombinasikan dengan bidang gambar.

Penggambaran ini jelas berbeda dibandingkan karya-karya Purwa sebelumnya yang sering menampilkan sosok manusia yang tampak bergerak seperti tengah terbang atau melompat tinggi. Latar yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari natar (bidang gambar), kini hidup dengan munculnya warna-warna kontras. “Eksplorasi tubuh dalam karya-karya sebelumnya belum memuaskan saya sebagai pribadi. Saya mulai jenuh dengan gaya melukis yang lama. Saya ingin mengeksplorasi hal baru, salah satunya dengan warna-warna dan medium lukis yang berbeda,” kata Purwa.

Saat memasuki ruangan galeri, pandangan pengunjung langsung disambut oleh lukisan berukuran 200×285 cm, berjudul Under the Full Moon. Bagi mereka yang mengenal karya-karya Purwa sebelumnya pasti langsung menyadari perbedaan yang ada. Purwa tak lagi menampilkan satu sosok figur, sebaliknya menampilkan belasan figur dengan berbagai pose.

Secara menarik, figur-figur itu ditempatkan dalam komposisi yang selaras dengan natar.  “Secara sederhana, kita bisa merasakan munculnya ruang dalam peletakan subjek-subjek di karya Purwa. Tapi saat kita memasukkan elemen perspektif, ruang tersebut menjadi luluh karena objek yang muncul tak tampak memiliki perspektif melainkan flat/datar,”tulis Utami.

Melalui karya-karyanya ini, sepertinya Purwa ingin menunjukkan pencapaian barunya dalam mengeksplorasi ide dan imajinasinya. Detail-detail tubuh hadir lebih kuat dari sebelumnya meski ia terkesan mengesampingkan gerak yang selama ini menjadi ciri khas dalam karyanya. Purwa mengutip ucapan John Cage, komponis sohor asal Amerika bahwa: “Tindakan eksperimental adalah salah satu hasil yang tidak terduga” dan inilah yang diharapkan Purwa yang mengaku mulai bosan dengan gaya lamanya.

Dalam beberapa lukisan, Purwa menonjolkan pemakaian warna ketimbang figur-figur dalam berbagai pose. Seperti yang terlihat dalam lukisan berjudul In Yellow, In Blue, dan Golden Moon. Menonjolnya warna latar ini tidak dikhawatirkan Purwa akan mengaburkan figur-figurnya, karena memang bukan figur yang menjadi inti dalam lukisannya.

“Warna-warna itu bukan hanya latar, justru menjadi tema dalam karya itu. Melalui warna saya ingin menunjukkan perasaan saya. Warna biru seperti yang muncul dalam Under the Full Moon menunjukkan perasaan saya yang tengah galau, bingung, dan depresi. Sementara warna kuning dan merah yang muncul dalam Golden Moon identik dengan harapan, semangat, dan antusias,”kata seniman kelahiran Sanur, Bali, pada 1976.

Meski hanya sebagai latar, Purwa tetap memperkuat kehadiran figur-figur itu dengan menampilkan ekspresi dan gerak tubuh yang sangat mudah dibaca oleh mereka yang melihat. “Ekspresi dan emosi dari masing-masing figur sangat penting. Meski dalam posisi tertegun, termenung dan diam, tetap ada emosi di dalamnya. Tidak saja figur bergerak yang bisa menunjukkan emosi, seperti yang selama ini saya tampilkan,”katanya.

Dalam beberapa lukisan, Purwa juga memunculkan lingkaran-lingkaran tegas untuk memperkuat makna. Seperti pada lukisan berjudul 3 Dunia, Purwa menggunakan lingkaran sebagai simbol ‘batas’ tiga dunia yang terinspirasi dari kepercayaan agama Hindu dan kebudayaan masyarakat Bali tentang hubungan dunia bawah (gaib), dunia manusia, dan dunia atas atau dunia para dewa.

Namun sayangnya kemunculan lingkaran-lingkaran yang seakan-akan dibentuk dengan jangka itu ikut ‘membatasi’ pandangan pengunjung atas karyanya. Sehingga tanpa disadari menghilangkan makna kebebasan yang selama ini diagung-agungkan Purwa dalam setiap karyanya.

Kebaruan lainnya dalam karya Purwa kali ini, adalah penggunaan media kertas sebagai pengganti kanvas. Meski dalam seni rupa klasik medium kertas bukanlah hal baru, namun saat ini keberadaannya dipandang sebelah mata oleh seniman-seniman kontemporer. “Saya mengeksplorasi kertas sebagai media lukis sejak awal tahun 2013, setelah ditantang galeri Berlin Avantgarde, Jerman, untuk menampilkan lukisan di atas kertas. Ini hal baru buat saya, sebelumnya tidak pernah menggunakan kertas. Tapi saya cukup puas dengan hasilnya,”kata Purwa.

Dalam pameran duet bersama seniman asal Belanda, Marianne van Heeswijk, di Berlin Avantgarde, Purwa menampilkan 22 karya lukis dengan kertas sebagai media. Tak jauh berbeda dengan karya yang ditampilkan di dia.lo.gue artspace, figur-figur lelaki dengan tubuh berotot tetap menjadi pilihannya untuk ‘berbicara’.

Bagi Purwa, ia tertarik menggunakan bahasa tubuh sejak awal berkaryanya karena baginya, bahasa tubuh lebih memiliki makna dibandingkan kata-kata. “Bahasa tubuh tidak dapat berbohong. Selain itu bahasa tubuh sangat tepat menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Itulah mengapa saya menonjolkan tubuh laki-laki untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan imajinasi saya,” ujarnya.

Sedikit perbedaan muncul pada figur-figur yang dilukiskan. Figur-figur itu tidak lagi didominasi warna kelabu seperti selama ini yang dilakukan Purwa. Warna merah, hijau dan biru mendominasi dalam beberapa lukisan. Ada yang siluet tubuhnya berwarna merah bata, sementara lukisan lain berwarna biru. Purwa juga menambahkan ornamen-ornamen lain seperti kipas Bali di dalam lukisan, hal yang selama ini ia tinggalkan.

“Melihat sesuatu yang sama, lama-lama jenuh juga. Saya lalu mencobanya dengan menambahkan warna dan ornamen-ornamen tambahan lainnya,” kata Purwa yang lulus dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Bali pada 1998.

Saat mengeksplorasi media kertas, Purwa mengaku mendapatkan sejumlah hambatan.  Tidak saja karena ukurannya yang jauh lebih kecil, tetapi juga karena sifat kertas yang berbeda dengan kanvas. Teknik lukis yang selama ini ia gunakan tidak serta-merta berhasil saat digunakan ke media kertas. Alhasil puluhan jenis kertas dengan goresan kuasnya berakhir di tong sampah.

“Media cat minyak dan arang saat dipindahkan ke media kertas ternyata memberikan hasil yang sangat berbeda. Begitu pula dengan teknik dusel (usapan) yang selama ini saya gunakan, ternyata tidak mudah diterapkan di kertas,”katanya.

Utami menggambarkan karya-karya lukis Purwa di media kertas “tampil lebih halus dan lebih detail” ketimbang karyanya dengan kanvas. “Kita sering luput untuk mengapresiasi sebuah karya berukuran kecil. Padahal proses penciptaan dan upaya yang dibutuhkan sama besarnya dengan karya-karya berukuran besar,” tulis Utami. Di sinilah pameran ini bisa dipandang sebagai sebuah peristiwa ketika seorang seniman mencoba melakukan perubahan gaya yang selama ini menjadi ciri khasnya, sekaligus upaya untuk mengajak publik mengapresiasi media kertas.