Pengunjung sedang menikmati karya di Kemangi Art Space
Pengunjung sedang menikmati karya di Kemangi Art Space (Foto: Riski Januar)

Hyatt Regency Yogyakarta ikut menyemarakkan seni rupa di kota Jogja dengan membuka ruang pamer bernama At Kemangi Art Space. Ruang pamer ini memulai acara perdananya melalui pameran seni yang diadakan oleh Paguyuban Bumi Sahitya Astaseni pada tanggal 5 Desember 2017 – 5 Januari 2018. Pameran yang dibuka oleh Nurcahyadi, General Manager Hyatt Regency Yogyakarta ini tidak mengusung tema apapun dalam penyelenggaraannya.

Pemurnian seni adalah sebuah misi yang di emban oleh paguyuban ini. Dalam wawancara dengan Heru Uthantoro yang merupakan ketua Paguyuban Bumi Sahitya Astaseni, mengatakan bahwa pemurnian seni yang dimaksud adalah tentang kritik akan sistem-sistem seni rupa yang terjadi hari ini. Sistem ini meliputi hubungan dan cara kerja antara gallery, kolektor, seniman hingga artisan yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja.

Paguyuban ini membuka tempat bagi semua seniman dari golongan manapun baik seniman akademisi maupun seniman otodidak untuk sama-sama mendukung pemurnian seni. Selain itu, pameran ini mengembalikan lagi seni rupa kedalam ranah estetiknya. Tidak ada tanggal dan tahun penentu sejak kapan paguyuban ini muncul, Heru mengatakan semenjak seni kontemporer lahir di Indonesia maka semenjak itu paguyuban ini ada.

Baca juga Goresan Pada Novel dan Ekspresi-ekspresi Sesudahnya  

Pameran yang diikuti oleh 30 orang seniman ini menampilkan banyak karya dengan visual pasar, candi, wayang dan pemandangan alam. Tanpa adanya tema, pameran ini mengajak penontonnya untuk menikmati karya secara keindahannya saja.

Live painting oleh seniman Alie Gopal pada acara pembukaan pameran
Live painting oleh seniman Alie Gopal pada acara pembukaan pameran (Foto: Riski Januar)

Pembukaan pameran diisi dengan pertunjukan live painting dari beberapa seniman peserta. Dalam kata sambutan pada pembukaan pameran, Heru mengatakan bahwa absennya kurator dalam penyelenggaraan pameran ini dikarenakan pemurnian seni yang ingin dicapai. Pernyataan itu memunculkan pertanyaan apakah gerakan pemurnian seni yang dimaksud termasuk menghilangkan tema dan kuratorial dalam penyelenggaraan pameran?

Ikut andilnya Hyatt Regency Yogyakarta dalam menyediakan ruang bagi para seniman menambah daftar ruang alternatif seni di kota Jogja. Nurcahyadi melalui kata sambutan yang dimuat dalam katalog pameran menulis bahwa Hyatt Regency akan menjadi hotel pertama yang mengubah diri menjadi sebuah art gallery raksasa.

Pernyataan Nurcahyadi seolah mengklaim bahwa Hyatt Regency adalah penggagas hotel yang memiliki art space, padahal sebelum Hyatt mengusung Kemangi Art Space, sudah lebih dulu bermunculan hotel-hotel di Jogja yang membuka ruang bagi seniman, seperti Greenhost Boutique Hotel dan Gallery Prawirotaman Hotel.

Baca juga Mengaburnya Ingatan

Kemangi Art Space terletak di sebelah restoran hotel. Tidak ada ruangan khusus yang disiapkan oleh Hyatt Regency. Art space ini hanya berupa lorong untuk mengakses lift terdekat. Penempatan karya pun tidak memadai karena kurangnya jarak pandang audiens untuk mengamati karya.

Karya dipajang pada dinding di sebelah “tangga datar” yang hanya memiliki lebar sekitar dua meter sehingga untuk mengamati lukisan yang rata-rata berukuran satu meter tidak memiliki jarak pandang yang memadai. Penempatan lampu sorotnya juga terlalu dekat dengan karya sehingga menghasilkan bias cahaya yang merusak warna dan tekstur lukisan.

Karya dipajang pada dinding di sebelah “tangga datar” yang hanya memiliki lebar sekitar dua meter sehingga untuk mengamati lukisan yang rata-rata berukuran satu meter tidak memiliki jarak pandang yang memadai.
Karya dipajang pada dinding di sebelah “tangga datar” yang hanya memiliki lebar sekitar dua meter sehingga untuk mengamati lukisan yang rata-rata berukuran satu meter tidak memiliki jarak pandang yang memadai (Foto: Riski Januar)

Setelah melewati tangga datar, karya masih di pajang pada lorong lainnya di sudut hotel, lorong ini bahkan tidak menyediakan lampu sorot. Art space yang diusung Hyatt Regency Yogyakarta jauh dari standar ruang pamer. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Nurcahyadi yang ingin mengubah Hyatt menjadi sebuah art gallery raksasa. Art gallery raksasa ternyata hanyalah sebuah “tangga datar” di sudut bagian hotel.

Keseriusan Hyatt Regency Yogyakarta dalam menggelar pameran seni juga perlu dipertanyakan. Acara pameran yang rencananya dibuka pada pukul lima sore sempat tertunda hingga satu jam. Keterlambatan ini disebabkan karena adanya acara penyambutan Hari Natal yang ruangannya (restoran) bergabung dengan acara pameran, sehingga pembukaan pameran harus menunggu dahulu hingga acara penyambutan Hari Natal selesai. Seolah pameran ini hanya sebuah side event dari serangkaian acara di hotel ini.

Baca juga 8 Situs Indonesia yang Diakui Sebagai Warisan Dunia, Kota Tua Jakarta Bakal Jadi yang ke 9?

Fenomena menjamurnya ruang seni alternatif di Yogya memang sedang marak terjadi dalam beberapa tahun belakangan. Sebagian dari ruang alternatif ini tidak memiliki standar ruang pamer yang layak. Mengutip teori Henri Lefebvre seorang sosiolog marxism Prancis tentang konseptualitas atas ruang. Ruang pamer termasuk kedalam representation of space yaitu ruang yang tergantung pada pola hubungan produksi dan tatanan yang bertujuan memaksakan suatu pola hubungan tertentu atas pemakaian suatu ruang.

Pemaksaan ini terkadang mengesampingkan standar-standar untuk menghadirkan ruang pamer yang layak seperti tidak tersedianya lampu sorot dan area yang terlalu sempit. Pemaksaan ruang seperti ini “mungkin” karena adanya penyesuaian kepentingan kapital dalam rangka menjamin relasi atau hubungan produksi yang bersifat kapitalistik. Penciptaan ruang yang dilandasi oleh kepentingan-kepentingan tersebut akhirnya mengesampingkan esensi ruang pamer itu sendiri.

Heru Uthantoro, Dewi Tara, 100 x 200 cm, Acrylic on Canvas, 2014
Heru Uthantoro, “Dewi Tara, 100 x 200 cm, Acrylic on Canvas, 2014 (Foto: Riski Januar)

Hal ini pun sesuai dengan fakta beberapa ruang seni alternatif di Jogja. Beberapa art space yang diboncengi oleh kafe, restoran, dan hotel-hotel ada yang mematok tarif untuk menggelar pameran.

Tarif ini dibebankan kepada seniman sementara pihak penyedia ruang hanya menyediakan ruang saja tanpa standar ruang yang layak. Ruang pamer seperti ini mengkapitalisasi seniman untuk tampil dalam hubungan yang sebenarnya saling menguntungkan. Fenomena ini menyebabkan banyak ruang yang lahir lalu tutup dalam waktu beberapa tahun saja.

Baca juga Kota Tua Jakarta Masuk Nominasi UNESCO WORLD Heritage

Penciptaan ruang seperti ini terkesan hanya ikut-ikutan tanpa pemahaman tatanan ruang pamer bahkan kesenian itu sendiri. Banyaknya seniman di Yogyakarta dan kebutuhan akan tampil menjadi lahan yang sangat menggiurkan untuk membuka sebuah art space karbitan.

Semoga ke depannya Kemangi Art Space dari Hyatt Regency Yogyakarta bisa berbenah diri dengan menghadirkan ruang yang lebih layak untuk menggelar pameran seni rupa. Pameran dari Paguyuban Bumi Sahitya Astaseni ini merupakan pijakan perdana Hyatt Regency Yogyakarta untuk mewujudkan ambisi menjadi hotel yang mengubah diri menjadi sebuah art gallery “raksasa”.penutup_small