Di perhelatan Art Jakarta 2017, Agustus lalu, Lawangwangi Creative Space menampilkan proyek “Treachery of Paintings” dari Patriot Mukmin. Proyek tersebut terinspirasi dari seniman Rene Margritte, yang mengingatkannya kembali tentang lukisan yang mampu mewakili sudut pandang tertentu dari mata manusia. Ilusi pandangan inilah yang diangkat Patriot dalam proyeknya.
Mata kita diajak bermain saat melihat karya-karya Patriot. Tak seperti lukisan biasa yang dibuat di atas kanvas datar, ia memotong-motong kanvas menjadi beberapa bagian yang kemudian disusun berjajar seperti pagar. Terciptalah lukisan semi-tiga-dimensi yang bisa dinikmati dari tiga sisi: tampak depan, sisi kanan, dan sisi kiri.
Karya-karya ilusif yang memainkan sudut pandang mata itulah yang terasa kuat pada jejak berkesenian Patriot. Selain bermain dengan lukisan tiga sisi yang disebutnya sebagai three sided paintings, seniman kelahiran 8 Juni 1987 ini juga menggunakan teknik anyaman pada beberapa karya lainnya. Untuk mengenal cerita berkesenian yang lebih dalam, berikut rangkuman perbincangan dengan Patriot Mukmin.
Bagaimana awal mula Anda terjun ke dunia seni?
Sejujurnya keluarga tidak ada yang dari seni. Saya anomali saja. Kuliah masuk jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2005. Padahal sampai SMA tidak pernah tahu benar dunia seni, sama sekali tidak pernah ke pameran. Setelah masuk jurusannya saya jadi tahu dan tertarik, ternyata menantang. Dari sanalah saya merasa bercita-cita supaya bisa bekerja dan sukses di dunia seni.
Saya sebenarnya dari dulu suka menggambar, khususnya otomotif, karena dulu mau menjadi desainer mobil. Hanya waktu tes masuk ITB, saya maunya desain produk tetapi saya sengaja taruh di nomor dua. Nomer satu saya isi seni murni, yang notabene saya tidak tahu itu apa. Waktu itu tidak tahu kenapa strateginya seperti itu. Ternyata masuknya ke seni.
Bagaimana perjalanan berkesenian dalam teknik maupun gagasan?
Dari 2011-2013, saya main three sided paintings. Saya berpikir, cara pandang dalam lukisan bisa di-push ke mana? Saya mendapat inspirasi dari kejadian sehari-hari, saya melihat pagar tetangga, misalnya. Oh ternyata ada jenis pagar yang kalau dari samping terlihat penuh, tetapi kosong jika dilihat dari tengah. Saya melihat ada potensi dan coba eksperimen. Lukisan secara fisik saya modifikasi seperti pagar sehingga bisa bermain sudut pandang lebih jauh. Jadilah Presence of Mind. Yang saya lombakan dan menjadi juara pertama di Bazaar Art Award 2011.
Tahun 2014 datang inspirasi dalam kondisi sosial saat pemerintahan SBY mau lengser. Kericuhan di media sosial sudah terjadi saat itu, saya mulai eneg melihat perseteruan antarteman. Momen itu yang menginspirasi, saya gelisah sebagai seniman. Saya coba merespon pakai memori. Peralihan kuasa SBY itu mengingatkan saya pada momen ’98, yang akhirnya saya angkat dalam seri Jas Merah.
Di tahun 2016, saya dapat ajakan residensi dari Jeonbuk Museum of Art di Korea Selatan. Di sana saya berniat untuk melukis pemandangan karena penasaran sama landscape-nya. Ternyata kebetulan di sana sedang ada gejolak dan demo besar-besaran di kota Seoul, sebagai protes pada presiden yang diduga korup. Saya yang tadinya tinggal di Jeonju pergi ke Seoul di akhir pekan. Dari aksi itu, saya manfaatin pamflet yang dibagikan menjadi karya. Pamflet saya anyam dengan foto-foto yang diambil di hari tersebut. Jadi, ada foto sebagai representasi sejarah dan pamflet yang merupakan bagian dari sejarahnya.
Sedangkan proyek “Treachery of Paintings” yang di Art Jakarta 2017 kemarin itu sebenarnya pengembangan dari proyek S2 saya yang awalnya berjumlah lima karya. Saya mendaftar S2 setelah menang BAA 2011, karena orang tua setuju saya berkesenian sambil kuliah lagi. Ternyata S2 itu seperti titik balik, karena saya ketemu banyak orang hebat seperti Tisna Sanjaya dan Asmudjo yang menjadi pembimbing. Saya digembleng habis-habisan. Kalau S1 saya main-main, pas S2 saya benar-benar serius berkesenian.
Pak Asmudjo banyak mengkritik saya tentang tindakan membelah-belah lukisan. Saat itu saya memberi tema dari sisi kiri dan kanan. Saya dikritik, yang lebih penting tema atau tindakan membelah-belahnya? Lama-lama saya menyadari yang lebih penting itu tindakan membelah fisik lukisannya. Kalau memainkan tema kan bisa apa saja. Di situlah saya mulai bertanya tentang posisi lukisan ini di dunia seni kontemporer.
Proyek “Treachery of Paintings” itu unik, bisa diceritakan?
Proyek S2 yang saya kembangkan itu membahas lukisan, 2016 saya kembangkan lagi. Ketika baca-baca ulang, ternyata karya saya itu terinspirasi banget dari salah satu karya Rene Margritte berjudul The Human Condition. Karya yang memperlihatkan lukisan di easel itu sederhana tapi seolah-olah membuat kabur antara lukisan dan pemandangan.
Lukisan itu saya gambar dan hadirkan di tengah-tengah yang mewakili keseluruhan karya di dinding. Semacam tribute ke Rene Margritte, yang mengingatkan perbedaan antara representasi dan realitas. Margritte pernah bilang bahwa “saya bukan pelukis, tetapi pemikir yang bekerja lewat lukisan.”
Transisi dari three sided paintings ke anyaman, bagaimana cara menghubungkannya?
Anyaman itu dimulai 2014, karena saya merasa proyek S2 itu adalah penemuan puncak dari seri 3 sisi. Saya merasa harus berkembang lagi dan mengkritik diri. Sempat ada yang bertanya ke saya, apakah bisa membuat karya ilusif tetapi di bidang yang datar? Saya mulai berpikir dan jawabannya muncul saat melihat anyaman. Lewat anyaman bisa menggabungkan gambar dan menciptakan ilusi optik.
Ada prinsip yang menjadi benang merah antara three sided paintings dan anyaman. Yang pertama, saya suka bermain dengan sudut pandang. Kedua, saya suka sama fractured image, yakni gambar yang terpotong dan terpecah-pecah. Ketiga, saya suka kesan ilusif dalam karya. Keempat, saya suka menggabungkan dua hal berbeda menjadi satu. Saya suka mencari titik temu antara dua hal.
Mungkin karena secara psikologis saya berzodiak Gemini, jadi suka menggabungkan sudut pandang ini dan itu. Lalu, saya juga dilahirkan campuran ayah Palembang dan ibu Betawi. Meski saya dibesarkan tidak dengan cara dua budaya itu, saya suka mencari perbedaan keduanya dan mencari titik tengahnya. Di karya saya itu baik yang pagar maupun anyaman, bisa ditemukan gabungan dua hal dan secara visual terlihat terpecah-pecah.
Kadang sebagai seniman suka ada ucapan kan, kalau mau mudah dikenali ya temanya itu-itu saja. Tetapi saya belajar dari pak Tisna, bahwa di era kontemporer sekarang yang penting adalah semangat berkarya dulu. Kalau sampai kelihatan berubah-ubah jangan khawatir selama karya yang ditampilkan bagus. Orang yang melihat pasti bisa merasakan, walaupun kita berubah tetapi jika konsisten dalam berkarya pasti terlihat benang merah yang menghubungkannya. Jadi, mau berbicara tentang apapun, kalau kita serius berkarya pasti ciri kita akan kelihatan. Ya, mudah-mudahan.
Artikel Ilusi Pandangan Mata Patriot Mukmin dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017.