Tulisan tangan Nasjah Djamin yang menerangkan lukisannya, "Lestari Fardani", 1958. (Foto: Silvia Galikano)

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut “Arsip adalah dokumen tertulis yang mempunyai nilai historis, sehingga perlu disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi”. Ini sepaham dengan Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang menyebut bahwa arsip adalah “Simpanan surat-surat penting untuk referensi”.

Kata “arsip” bermula dari bahasa Belanda, archief (bahasa Inggris, archive), yang berakar dari kata archium (Yunani), yakni peti untuk menyimpan sesuatu yang dianggap bernilai, berharga.

Dalam dunia seni rupa Indonesia memang sulit mencari arsip (kumpulan dokumen) yang bisa dirangkai menjadi ihwal yang valid. Baik dokumen untuk perseorangan maupun dokumen untuk perkumpulan seni. Baik itu dokumen-induk, yang saya sebut Dokumen tingkat 1 (DokT1), yang mencatat data secara formal dan tertulis dalam bentuk warkat, surat, akta. Ataupun dokumen subinduk (DokT2) yang mencatat peristiwa dan nuansanya, dalam catatan personal atau kliping.

Walau begitu, tak semua sosok perupa dan perkumpulan seni rupa Indonesia buruk dalam pengarsipan. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Sudjana Kerton, Nasjah Djamin, Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, dan sedikit yang lain termasuk relatif memiliki ketertiban dalam mengarsip.

Pada perkumpulan seni yang beraksi sejak sebelum Indonesia merdeka: Sanggar Tjipta Pantjaran Rasa pimpinan Barli, Sanggar Pejeng milik Dullah, serta Sanggar Kambodja-Bali, termasuk punya tradisi menyimpan dokumen sekitar kegiatannya dalam arsip. Termasuk Sanggar Bumi Tarung, yang pengarsipannya dilakukan dengan relatif tertib oleh Misbach Thamrin.

Tulisan tangan Nasjah Djamin yang menerangkan tentang lukisannya, Potret Diri, 1948. (Foto Silvia Galikano)
Tulisan tangan Nasjah Djamin yang menerangkan tentang lukisannya, “Potret Diri”, 1948. (Foto: Silvia Galikano)

Sejak beberapa belas tahun lalu saya tak henti mengais dokumen yang terkait dengan sejumlah perupa dan perkumpulan seni ikonik Indonesia. Dan itu terbilang sulit. Kesulitan itu tentulah juga merangsek para mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi atau disertasi, yang secara akademis harus menghimpun arsip yang paling tidak terkategori dalam DokT1 dan DokT2.

Baca juga Isyarat Spiritualitas Karya Nasjah Djamin

Atas Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) misalnya. Pasalnya, arsip lengkap mengenai perkumpulan ini tak ada di rumah arsip resmi yang terkategori DokT1. Sampai akhirnya terdengar kabar bahwa sebagian arsip Persagi ternyata dibawa Otto Djaya, yang pada 1980-an memang sering mengoyong-oyong sebundel arsip ke mana-mana,  untuk dipamerkan ke teman-temannya.

Begitu juga dengan arsip perkumpulan SIM (Seniman Indonesia Muda) yang ternama itu. Sementara untuk melacak perjalanan lengkap Bataviasche Kunstkring yang aktif pada 1930-1942, kita harus masuk ke ruang arsip di Leiden, Belanda.

Cerita lain, atas dokumentasi lengkap perkumpulan Yin Hua yang didirikan Lee Man Fong pada 1955, CM Hsu salah satu pendirinya, angkat tangan. “Sebagian besar dokumentasi itu ada di Yap Thay Hua dan Ling Nan Lung, yang kalang kabut ketika peristiwa Gestapu. Mungkin bundle dokumen itu sudah dibakar,” kata CM Hsu.

Baca juga Perjalanan Seni dan Kurasi Sally Texania

Atas Dok T1, DokT2, sampai DokT3, perkumpulan Pelukis Rakyat serta Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi di bawah PKI, budayawan Joebar Ajoeb pernah mengatakan, “Kini yang terbanyak mungkin ada pada saya. Karena lembaga arsip milik Negara sudah menggunting sebagian arsip lengkap itu, dan dibuang sebagai dokumen terlarang.”

Maka ketika pada 1994 saya minta dokumentasi “terbanyak” itu kepadanya, ia hanya menyampaikan puluhan halaman manuskripnya yang berjudul Mocopat Kebudayaan, yang ia anggap sebagai kristalisasi dari arsip. Manuskrip itu akhirnya terbit sebagai buku pada 2004.

Surat Nasjah Djamin untuk H.B. Jassin.
Surat Nasjah Djamin untuk H.B. Jassin. (Foto: Silvia Galikano)

Pentingnya “arsip-tutur”

Terseraknya, tersembunyinya, tereduksinya, hilangnya, rusaknya, dan minimnya arsip seni rupa di Indonesia ini menyebabkan kita harus mencari alternatif arsip. Dan salah satu alternatif itu adalah “arsip-tutur” atau arsip yang dicatat oleh ingatan narasumber terpercaya.

Mereka adalah pelaku sejarah, atau orang-orang yang berada di samping terdekat pelaku sejarah. Ingatan narasumber itu kemudian ditarik keluar lewat percakapan (santai atau wawancara resmi), agar menjadi perkataan, dan ditulis sebagai data dan deskripsi fakta. Dengan begitu, arsip-tutur ini terposisi sebagai DokT3, atau bahkan DokT4, karena hanya terungkap dalam tutur cerita.

Berkait dengan itu saya teringat tutur Affandi, “Saya ini bodo. Lha wong bodo kok disuruh menunjukkan arsip. Kalau Saudara mau data, tanya-tanya saja, saya akan beri cerita.” Cerita itulah yang disebut arsip-tutur. Walaupun banyak orang tahu bahwa “si bodo” Affandi termasuk penyimpan dokumen yang tidak buruk.

Mungkin dalam dunia akademis arsip-tutur ini kurang absah karena posisinya terlalu jauh dengan DokT1 atau DokT2. Namun dalam kenyataannya arsip-tutur bisa dipakai sebagai jalan untuk menuju kepada Dok T2, bahkan melompat ke DokT1.

Contohnya pada menjelang 1990 saya menemukan foto Basoeki Abdullah sedang menyelesaikan lukisan Jika Tuhan Murka pada 1950. Di sisi Basoeki, tampak istrinya, Maria Michel alias Maya.

Tulisan S. Sudjojono
Tulisan S. Sudjojono, “Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya”, 47 halaman (Foto: Jacky Rachmansyah)

Dari foto itu Basoeki lalu membuka arsip-tuturnya. Dikatakan bahwa “Jika Tuhan Murka” adalah lukisan yang digunakan untuk melunakkan hati Maya, yang pernah mencurigai dirinya pernah “membocorkan informasi rahasia” (geheime informative laten uitlekken), yang merugikan pemerintah Belanda. Lalu terungkaplah sebuah “dokumen besar”: Basoeki pernah dicurigai sebagai pembocor rahasia politik.

Dok T4 ini sedikit menemukan koridor ketika saya rujuk kepada tulisan jurnalis bernama Marhaen yang mewawancarai Basoeki untuk surat kabar Asia Raja medio Agustus 1950, dalam kaitannya dengan pameran Basoeki di Hotel des Indes, Jakarta.

Seakan-akan keluh kesah semata jang kita dengar dari mulut Basoeki…. Kepahitan mana sebetulnja berdasar pula pada alasan-alasan psychologis jang ditimbulkan oleh adanja perselisihan politis dan militer antara bangsa Indonesia dan Belanda,” tulis Marhaen.

Tulisan Marhaen yang samar itu, beserta foto yang termaksud, lantas dikonfirmasi ke Jusuf Ronodipuro (pejuang kemerdekaan) dan sejarawan Solichin Salam oleh Dutasena (kerabat Basoeki). Sementara saya menanyakan kepada pelukis Dullah. Hasilnya adalah cerita ini:

Basoeki memang dicurigai memberikan info rahasia kepada Sukarno, Rum, serta Sultan Hamid Algadrie (wakil dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg), dalam rangka KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag pada Agustus – September 1949.

Pembocoran info rahasia tersebut (dianggap) jalin-menjalin dengan pembentukan Komisi Timbang Terima dari tangan Belanda ke Indonesia di Yogyakarta pada 10 Juni 1949 yang melibatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sahabat Basoeki.

Tulisan S. Sudjojono
Tulisan tangan S. Sudjojono, konten autobiografi. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Indikator lain yang (dianggap) menegaskan “keinformanan” Basoeki adalah: untuk menyambut KMB itu Basoeki menggelar pameran di Victoria Hotel, Amsterdam, dengan karya-karya bernada patriotik pro-Indonesia, dan tidak pro-Belanda.

Kasak-kusuk ini meresahkan Maya, yang tentu saja sangat pro-Belanda. Ia minta kepada Basoeki untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar. Tapi bila benar, ia minta cerai! Basoeki, yang sangat dekat dengan kalangan Istana Soestdijk, tentulah tak pernah mengaku. Apalagi DokT1 ihwal itu tidak pernah ada.

Untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan manusia yang suka berbuat dosa dan bermain mata-mata, Basoeki lantas menciptakan lukisan yang berkisah tentang neraka (adaptasi dari lukisan John Martin). Basoeki menunjukkan kepada Maya bahwa nasib seorang mata-mata akan berujung di neraka jahanam seperti itu.

Baca juga Dua Biografi Sudjojono & Rose Pandanwangi Diterbitkan

Contoh lain. Dullah, pelukis Istana Presiden Sukarno periode 1950-1960 bertutur bahwa Presiden dan dirinya telah membuat konsep kuratorial pemajangan lukisan di setiap istana, pada 1955. Istana Negara dengan lukisan bertema alam budaya Indonesia dan mancanegara. Istana Merdeka dengan tema perjuangan. Istana Bogor dengan tema perempuan. Istana Yogya dengan tema sosok kepahlawanan.

Sampai sekarang saya belum menemukan DokT1 atau Dok T2 yang menuliskan dasar-dasar kuratorial penting itu, kecuali arsip-tutur Dullah, yang kemudian ditegaskan oleh Lim Wasim, pelukis Istana selanjutnya.

Basoeki Abdullah, Djika Tuhan Murka
Basoeki Abdullah, “Djika Tuhan Murka”, uk 200×300 cm, oil on canvas, 1949-1950 (Foto: Jacky Rachmansyah)

Namun hal itu akhirnya sedikit terkuak pada pameran koleksi Istana Presiden “Senandung Ibu Pertiwi” pada Agustus 2017. Pameran itu memajang dokumen kecil (koleksi Anissa Rahadi, diambil dari Cornell Rare Manuscript Collection) yang berupa surat Claire Holt.

Holt adalah peneliti seni dari Cornell University, Amerika Serikat, penulis buku Art in Indonesia – Continuities and Change (1967).

Dalam surat yang ditulis pada tengah Februari 1957 tersebut Holt menulis pengalaman kunjungannya ke Istana Negara, Istana Merdeka pada 9 Februari dan Istana Bogor pada 10 Februari. Holt dipandu Dullah, yang menjelaskan dasar-dasar kuratorial untuk setiap Istana.

Baca juga Basoeki Abdullah di Balik Berbagai Stigma

Di situ ia menulis bahwa di Istana Merdeka, Holt melihat lukisan Henk Ngantung, Sudjojono, Trubus, Affandi, Kartono Yudhokusumo, sampai Sudjana Kerton, yang semua bertema perjuangan. Juga karya Mochtar Apin yang menggambarkan pahlawan Husni Thamrin.

Di Istana Negara ia melihat lukisan Abdullah Suriosubroto, Surono, sampai lukisan Soedibio berjudul Potret Sumilah yang surealistik, dengan bayang-bayang penari srimpi, ikon budaya Jawa.

Dalam jajaran tema lukisan yang beragam, tampak lukisan Jawa-tua, yang oleh Holt dicatat sebagai junjungan Ki Hadjar Dewantara. Di sini juga terpajang lukisan Rudolf Bonnet yang menggambarkan keluarga di Italia.

Untuk kunjungan di Istana Bogor, Holt mencatat, “Di dinding ada sepotong kepala dan perut wanita terbuat dari batu Gandkara, yang menurut presiden ‘cantik’ dan dirasa presiden selalu memeluknya…. Sementara di atas meja terpajang patung tubuh wanita yang mempesona.” penutup_small

Agus Dermawan T. – Penulis dan kurator seni rupa.

Arsip-Tutur Jagad Perupa disampaikan dalam diskusi “Arsip sebagai Warisan Budaya” di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, 31 Oktober 2017