tema Jakarta Biennale 2015 (sumber: jakartabiennale.net)
tema Jakarta Biennale 2015 (sumber: jakartabiennale.net)
tema Jakarta Biennale 2015 (sumber: jakartabiennale.net)

Jakarta Biennale ke-16 akan hadir kembali pada 15 November 2015 – 17 Januari 2016 mendatang di Gudang Sarinah. Pada perhelatan yang ke-16 ini, Jakarta Biennale menghadirkan tema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang”. Tidak tanggung-tanggung, Charles Esche, kurator kawakan asal Inggris diundang untuk menjadi kurator utama. Charles saat ini bekerja sebagai Direktur Van Abbemuseum, Belanda, dan telah mengkuratori berbagai biennale seni rupa internasional, seperti Gwangju, Istanbul, dan Sao Paulo.

Selain Charles, dipilih enam kurator muda dari berbagai daerah di Indonesia untuk ikut serta dalam ajang kali ini, yaitu Anwar ‘Jimpe’ Rachman, Asep Topan, Benny Wicaksono, Irma Chantily, Putra Hidayatullah, dan Riksa Afiaty. Ade Darmawan, Direktur Yayasan Jakarta Biennale, mengatakan, “Kita undang kurator dari berbagai daerah agar memperkaya sudut pandang.”

Putra Hidayatullah, kurator muda asal Aceh, mengaku bahwa memang perbedaan menjadi poin penting dalam Jakarta Biennale tahun ini. Ia berkata, “Bicara Indonesia, kita memang bicara menyambung jilbab dengan koteka.” Menurutnya lagi, perbedaan ini berpotensi untuk memberi ruang-ruang untuk membicarakan banyak hal. “Misalnya kita bicara Aceh, selama ini kita hanya tahu Aceh yang direpresentasikan oleh media. Nah, bagaimana kalau kita melihat Aceh direpresentasikan oleh seniman?”

Pembicara dalam konferensi pers Jakarta Biennale 2015 (sumber: dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta)
Pembicara dalam konferensi pers Jakarta Biennale 2015 (sumber: dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta)

Ungkapan Putra ditegaskan lagi oleh Charles. Esche menilai tema ini tepat untuk mengajak seniman aktif merespons keadaan sosialnya hari ini. “Tidak lagi meratapi masa lalu dengan penuh nostalgia, ataupun memandang masa depan dengan harapan yang penuh utopia. Seniman harus menunjukkan apa yang bisa mereka lakukan dengan kondisi sekarang? Apa yang bisa mereka menangkan?”

Terkait dengan makna tema tersebut, Charles menjelaskan bahwa pasca tahun 90an, terjadi perubahan pada konstelasi penyelenggaraan biennale di dunia. Di eropa, ujarnya, biennale masih menjadi ajang kompetisi antar negara untuk berlomba-lomba menghadirkan seniman-seniman terbaiknya. “Di Asia berbeda. Kecenderungannya adalah lebih ke menjadikan biennale sebagai upaya melihat kehidupan sosial lewat seni dan bagaimana berkontribusi untuk kondisi tersebut,” kata Charles.

Opini Charles diamini Ade. Ade berharap Jakarta Biennale mampu menjadi medium pembacaan terhadap kota. Selain menjaga mutu artistik, Jakarta Biennale ke-16 juga mengedepankan edukasi publik. “Permasalah Jakarta Biennale yang sudah-sudah adalah tidak banyak masyarakat yang tahu soal itu. Jadi yang tahu dari kalangan seni rupa saja, tapi secara luas, publik tidak tahu,” kata Ade. Itulah mengapa program-program edukasi publik, seperti menerbitkan buku pendidikan seni, lokakarya Duta Seni, dan lokakarya publik, disisipkan.

Sekitar 70 seniman dengan perbandingan 40 seniman Indonesia dan 30 seniman luar negeri akan meramaikan Jakarta Biennale dengan karya-karyanya. Tidak hanya terpusat di Gudang Sarinah, beberapa program komunitasi diadakan di beberapa titik seperti Penjaringan, Paseban, Marunda, dan lain-lain. Selain Jakarta, ada juga proyek luar kota yang salah satunya di Surabaya. Mengenai keterlibatan ruang kota dan publik, Ade menjelaskan, “Sejak 2009, Jakarta Biennale memang telah bertransformasi dengan melibatkan publik dan ruang-ruang kota sebagai bagian dari praktek serta strategi artistiknya, dengan tujuan ingin menempatkan Jakarta Biennale sebagai platform yang mendukung praktik-praktik seni rupa yang kritis terhadap publik dan ruang kotanya.”