PENANTIAN TAK BERTEPI, 115X150cm, pensil dan akrilik di atas kanvas, 2014. (sumber: dokumentasi Wahyu Nugroho)

Sebagai program seni rupa Taman Budaya Jatim, pameran bersama 20 seniman Jawa Timur yang bertajuk “Ruang Kecil Bicara” diselenggarakan. Pameran yang berlangsung dari 3-9 April 2016 ini membagi sama rata porsi seniman dua dan tiga dimensi – 10 pelukis dan 10 pematung/seniman instalasi.

Keduapuluh seniman ini dipilih oleh M. Anis, ketua Pasar Seni Lukis Indonesia yang diminta langsung oleh Taman Budaya. “Saya pilih lintas usia supaya bisa berbagi pengalaman,” ujarnya. Kedua puluh seniman ini akhirnya menghasilkan lebih dari tiga puluh karya yang dipajang di ruang pamer Galeri Prabangkara. Surabaya, sebab ada sejumlah pelukis yang mengirim dua karya.

Merespons undangan yang cukup mendadak karena baru datang pertengahan Maret lalu, Wahyu Nugroho, pelukis Pasuruan yang ikut ambil bagian dalam pameran ini mengaku tidak sempat membuat karya baru.

“Karena antara undangan dan waktu pelaksanaannya terlalu mepet, saya sampaikan ke panitia tidak mungkin jika harus mengeluarkan karya terbaru, karena proses karya saya, dalam hal teknis saja, cukup memakan waktu,” kata Wahyu.

Karya yang ia pamerkan kali ini adalah dua lukisan pensil dan akrilik di atas kanvas bertajuk Atraksi Garing dan Penantian Tak Bertepi. Lukisan buatan 2014 ini menampilkan suasana psikologis masyarakat Indonesia  berkaitan dengan proses demokrasi menjelang pemilu dalam balutan warna monokrom. Kesan yang muncul dari lukisan ini adalah kegelisahan serta kecemasan yang tergambar di wajah-wajah manusia .

 

Membajak di Tanah Subur (sumber: dokumentasi Jopram)
Membajak di Tanah Subur (sumber: dokumentasi Jopram)

Sedangkan Joko Pram, seniman instalasi asal Surabaya, nekat membuat karya instalasi dalam waktu yang sempit tersebut. Karyanya diberi judul Membajak di Tanah Subur, yang juga dibuat dari rangkaian alat-alat pertanian dan kayu. Karya ini diselesaikannya dalam waktu seminggu dan dengan dibantu oleh beberapa orang.

Lewat karya ini, seniman yang akrab dipanggil Jopram membicarakan isu kegelisahan dalam dunia pertanian. Memakai simbolisasi alat bajak tradisional dan modern, Jopram menyinggung perkembangan modernism yang dianggapnya memupus rasa dalam aktivitas. Ini menjadi paradoks atas definisi membajak sendiri yang berarti mengurai tanah kering menjadi subur.

“Orang kini mencari kekayaan untuk diri sendiri atau kelompoknya tanpa menggunakan rasa. Tanah subur yang bukan miliknya juga diurai,” ujar Jopram. Ia juga menggunakan simbolisasi tanaman berbuah pisau untuk menyampaikan buah pikirnya tentang akibat yang harus ditanggung dari perbuatan orang-orang yang ia maksud tersebut.

Galeri Prabangkara sendiri merupakan galeri yang baru diresmikan tahun lalu. Keberadaan galeri ini, menurut M. Anis, adalah kabar baik kepedulian pemerintah setempat terhadap kesenian. “Biasanya EO yang mengadakan pameran, tapi ini instansi pemerintah yang membuat program pameran. Ini tentu positif,” ujarnya.