Astrofisikawan Premana W. Premadi dalam Pidato Kebudayaan 2016. (Foto: Silvia Galikano)

Pendidikan sains membuka jalan untuk terbenturnya pola pikir ilmiah, tetap dengan mengingat dan mengakui bahwa sains tidak pernah mengklaim mengetahui atau akan punya solusi untuk semua masalah.

Dalam bukunya, The Unscientific America, Mooney dan Kirshenbaum (2009) memperingatkan bahwa iliterasi sains dapat mengancam masa depan. Berbeda dari situasi iliterasi dan inumerasi abad lalu, yakni orang tahu bahwa dia tidak tahu.

Masalah sekarang adalah orang berpikir bahwa dia tahu tapi tak menyadari bahwa yang diketahuinya mungkin salah atau tidak lengkap. Dalam negara demokratis yang secara prinsip rakyat berkuasa, risikonya tinggi jika masyarakatnya belum dapat diandalkan kemampuan bernalarnya.

Astrofisikawan Premana W. Premadi mengemukakan hal itu dalam Forum Pidato Kebudayaan bertajuk “Setelah Polemik Kebudayaan: Di Mana, Ke Mana Indonesia?” di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2016.

Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah program tahunan DKJ bersama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya menampilkan satu pembicara, Forum Pidato Kebudayaan 2016 menghadirkan dua pembicara,  Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin dan Astrofisikawan Premana W. Premadi.

Baca juga Menag Lukman Hakim: Tampilkan Agama Secara Promotif

Dalam pidatonya, Premana mengajak kembali ke square one sebelum terlambat, yakni benahi pendidikan pada akarnya untuk memberdayakan nalar.  Dia merujuk ke gagasan pola pikir ilmiah Howard Gardner yang mulai banyak diadopsi, yaitu pembelajaran terintegrasi: Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM).

Arts ditambahkan ke dalam STEM, menjadi STEAM, untuk memperluas cakupan upaya pembentukan manusia seutuhnya dengan ikut dalam pencarian kebenaran (dari ilmu), keindahan (dari seni), dan kebaikan (dari etika).

Siswa membuka diri terhadap konten disiplin ilmu STEAM melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka yang disampaikan dengan sopan, merupakan pembuka penting dalam kegiatan eksplorasi dan eksperiman.

Adanya diskusi, sebagai bentuk refleksi komunal, bentuk keterlibatan langsung tiap anggota tim. Ini akan membentuk pengalaman pribadi yang bermakna karena mereka merasa dihargai kontribusinya dalam perolehan solusi untuk suatu masalah bersama.

Baca juga Budaya dan Identitas Baru Tubaba

Pembelajaran STEAM akan menghasilkan SDM dengan kompetensi yang kokoh dan berwawasan interrelasi yang luas. Pembelajaran STEAM juga membentuk etos kerja yang selanjutnya membentuk perilaku berwelas asih dan inklusif dalam menghormati dan merangkul keberagaman.

Menurut pengajar di Departemen Astronomi FMIPA ITB ini, peran korporasi dan industri di Indonesia dalam pembelajaran STEAM sangat penting dan perlu segera digalakkan. Pembelajaran STEAM menjadi jalan pintas dan strategis untuk memperkecil kesenjangan antara kualitas mayoritas populasi usia kerja sekarang dan kualitas yang diperlukan.

Masyarakat yang terpekerjakan dengan layak akan cenderung berusaha terus mengembangkan diri. Sedangkan, menurut prediksi UNESCO, laju peningkatan ekonomi negara berkembang dan laju modernisasi industri dalam dua dekade ke depan masih lebih lambat dibanding laju peningkatan kompetensi penduduknya.

“Akibatnya tenaga terdidik akan beremigrasi dalam persentase yang signifikan karena tidak terserap di dalam negaranya sendiri yang justru sebetulnya membutuhkan mereka,” kata Premana. “Dan ini sudah mulai terjadi.”

Baca juga Cihampelas, Seruas yang Berbenah

Mulai Pidato Kebudayaan DKJ 2013, yang menghadirkan Karlina Supelli, panggung disegarkan dengan bentuk yang lebih memberdayakan aspek panggung dan pertunjukan. Mulai itu pula kata kunci “Suara Jernih dari Cikini” ditradisikan, untuk menebarkan suara jernih dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.

Karena diperlukan lebih banyak suara jernih dan lebih banyak sudut pandang agar persoalan kebudayaan Indonesia masa kini kembali berwarna serbaneka,  DKJ pun mengubah bentuk Pidato Kebudayaan  menjadi Forum Pidato Kebudayaan. Mimbar diisi lebih dari satu pewacana.

Tradisi yang diselenggarakan sejak 1989 sebagai bagian perayaan ulang tahun TIM, setiap tahun DKJ mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual. Di antara nama-nama yang pernah jadi pembicara, tersebutlah Umar Kayam (1989), B.J. Habibie (1993), Rendra (1997), Ali Sadikin (1999), Azyumardi Azra (2001), Busyro Muqqodas (2011), dan Hilmar Farid (2014).