Sebuah pameran fotografi Indonesia bertajuk “Garden of the East” diadakan di National Gallery of Australia, Canberra. Acara yang akan menampilkan fotografi Indonesia selama tahun 1850-1940 ini diselenggarakan dari 21 Februari – 22 Juni 2014.
Ketika disebutkan “Indonesia”, kebanyakan orang akan merujuk pada keindahan lanskap di Bali: pantai tropis, resor pegunungan, kuil kuno Hindu, pasar eksotis. Pulau yang sama juga yang mengingatkan kita pada mimpi buruk tragedi yang belakangan terjadi: peristiwa pengeboman teroris pada 2002 dan 2005. Tak lupa drama sidang dan eksekusi mati warga Australia yang tertangkap pengedaran narkoba di bandara Denpasar.
Selain itu, bencana alam (korban tsunami di garis pantai Aceh pada 2004, debu vulkanik yang menutupi kota-kota dan bandara-bandara di pulau Jawa baru-baru ini), bencana politik (Aceh, Papua, serta pembebasan pulau Timor), dan berbagai persoalan lainnya yang banyak dikabarkan media.
Tak seperti sekarang, foto-foto Indonesia di abad 19 dan awal abad 20 jarang menyiratkan kontroversi atau kritis atas apa yang terjadi di negara kepulauan tersebut. Berhubung Indonesia belum menjadi negara demokrasi saat foto-foto tersebut diambil (kebanyakan diambil saat masa penjajahan Belanda sampai 1949), dan berbagai macam pembatasan pers masih berlaku, sangatlah tidak mungkin bagi fotografer kontemporer untuk menunjukkan sisi gelap kehidupan kolonial Indonesia: perang, eksploitasi perbudakan, pergerakan politik.
Pameran “Garden of the East” menampilkan lebih dari 250 foto dari lebih dari 100 fotografer profesional dan amatir, dimulai dari 2007 dan sudah ditampilkan sejak saat itu. Beberapa foto merupakan karya fotografer di era abad 19 dan awal abad 20, termasuk Woodbury and Page, Isidore van Kinsbergen, Thilly Weissenborn, Kassian Cephas. Foto-foto yang ditampilkan mengajak refleksi keberlangsungan dan perubahan tentang bagaimana fotografer Barat, begitu juga fotografer Indonesia, melihat Indonesia sekarang dan satu abad yang lalu.
Foto-foto yang dipamerkan tidak dimiliki oleh arsip Indonesia, begitu menurut kurator pameran, Gael Newton. Newton bahkan mengatakan banyak peneliti Indonesia yang mendatangi National Gallery of Australia (NGA) untuk mencari data.
Direktur NGA, Ron Radford mengatakan bahwa warga Australia perlu tahu lebih banyak tentang sejarah negara tetangganya. “Kami bangga menyelenggarakan pameran ini dan percaya bahwa dengan letak geografis, politik, dan budaya Australia di regional Asia Pasifik membuat kami harus mengapresiasi kekayaan dan ragam budaya dalam regional kita,” ujarnya.
Gael Newton berpendapat sama dengan Radford. “Menjadi kurator dalam pameran ini mengajarkan saya bagaimana menjadi warga Asia Pasifik,” ujarnya.
Fotografi dalam pameran “Garden of the East” tidak menunjukkan keseluruhan cerita masa lalu Indonesia, tetapi mereka menampilkan pemandangan kepulauan yang indah, kontradiksi, dan rumit, yang menginspirasi refleksi kritis daripada tampilan yang sering diperlihatkan berita saat ini. Dan itu salah satu cara menikmati indahnya Indonesia.
[ABC Australia | Canberra Times | The Conversation]