Putu Sutawijaya. The Dance of Ganesha.
Putu Sutawijaya. The Dance of Ganesha.
Putu Sutawijaya. The Dance of Ganesha (courtesy of Syang Art Space).

Refleksi batin atas sebuah perjalanan yang dilakukan seniman, kerap melahirkan ekspresi artistik visual yang menarik. Inilah yang dilakukan Putu Sutawijaya dan Pande Ketut Taman dari perjalanan mereka ke tempat-tempat ibadah selama kurang lebih lima tahun belakangan ini. Keduanya melahirkan bentuk-bentuk rupa dua dan tiga dimensi yang kemudian mereka pamerkan secara bersama dengan tajuk “Kuil” di Syang Art Space, Magelang, Jawa Tengah dari 24 Mei-24 Juni 2015.

“Tema ini sesuai dengan karakter kepribadian Pande maupun Putu. Walaupun terdapat perbedaan dalam mengekspresikan karya, namun mereka sama dalam semangat berkarya,” ujar Ridwan Muljosudarmo, pemilik Syang Art Space.

Dalam tulisan pengantar pameran, Kris Budiman, yang kerap menyertai ziarah keduanya di situs-situs ibadah itu pada dasarnya mewakili konstruksi pemahaman kultural manusia terhadap ruang-ruang pemujaan manusia terhadap yang ilahi. Secara lebih lanjut, Kris menjelaskan tentang pemahaman kuil yang kedua seniman ini pilih sebagai judul pameran.

Pande Ketut Taman, Harra, 100 x 100 x 50 cm, mix media, 2015.
Pande Ketut Taman, Harra, 100 x 100 x 50 cm, mix media, 2015. (courtesy of Syang Art Space)

“Kuil memang memiliki medan makna yang tersendiri, tidak berlaku general. Sebuah gereja katedral tua, se-singup apapun suasananya, tidak akan kita bilang sebagai kuil. Masjid-masjid kuna pun tidak. Kuil, singkatnya, kita gunakan sebagai sebuah konsep lokal untuk merujuk kepada tempat ibadah tertentu saja, khususnya dalam sistem-sistem religi non-abrahamik. Di sisi lain, makna kuil pun biasanya ditempelkan dengan konotasi yang unik. Signifikasi atas kuil tidak hanya berhenti pada tataran denotatif tadi, melainkan berlanjut ke dalam beberapa makna asosiatif,” tulis Kris Budiman.

Penjelasan ini menemani penonton untuk melihat bahwa yang tersaji di pameran tersebut tidak melulu berupa candi atau situs-situs arkeologi dan purbakala yang menjadi destinasi kunjungan Komunitas Bolbrutu (Gerombolan Pemburu Batu) yang diikuti Putu dan Pande. Di sana ada sketsa-sketsa wihara dan klenteng yang digambar oleh Putu, hingga instalasi burung-burung karya Pande yang dibuat dari sabut kelapa yang dibakar. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka tak mentah memperlihatkan perjalanan itu sebagai dokumentasi semata, namun refleksi batin yang diterima sebagai buah dari peziarahan tersebut.

Pameran ini juga menarik dilihat dari sisi bagaimana kedua perupa senior tersebut berproses dengan meninggalkan kenyamanan ruang studio. Dimulai dari motivasi berwisata bersama keluarga, baik Putu dan Pande berkeliling membawa peralatan gambar mereka dan terjun langsung ke objek-objek tersebut. “Saat inilah saya kembali belajar mengenal tinta, menenteng kanvas, dan meninggalkan kenyamanan studio,” ujar Putu.

Lebih lanjut tentang ulasan pameran kedua seniman ini, sila dapatkan di Majalah Sarasvati edisi Juni 2015.