Genap melakukan riset selama satu bulan mengenai fotografer keliling di kawasan Monumen Nasional (Monas), Dito Yuwono menghadirkan presentasi risetnya di galeri ruangrupa, 31 Agustus hingga 10 September mendatang dalam kemasan artistik.
Dalam presentasi sekaligus pameran bertajuk ‘Recollecting Memory: Tukang Foto Keliling’ ini, Dito menyoroti perilaku para fotografer keliling di sekitar Monas—yang notabene ilegal— dalam membangun sistem keprofesian untuk mengamankan pekerjaannya. Pembuatan wadah pun mereka bentuk, mulai dari paguyuban hingga koperasi, yang memunculkan kesan bahwa mereka memang diberi ruang untuk beroperasi.
Lain halnya dengan tukang foto yang beroperasi di kebun binatang Ragunan dan kawasanTaman Mini yang dikelola pihak swasta , sehingga lebih ‘aman’ dalam saat beroperasi. “Sementara itu, mereka (fotografer Monas) bekerja di lahan publik, dan pekerjaan mereka sebagai fotografer ini tidak diatur oleh pemerintah. Hal ini yang membuat lipatan masalah para fotografer Monas lebih banyak. Jadi yang dibaca Dito ini ialah sistem mereka untuk bertahan hidup, agar tidak diusir seenaknya, lebih-lebih diambil alih preman,” ujar Leonhard Bartolomeus atau Barto, kurator pameran.
Ide Dito—yang juga anggota dari Ruang MES56, kelompok fotografi kontemporer Yogyakarta—untuk melakukan riset seputar fotografer keliling telah muncul sebelumnya saat hendak meneliti para tukang foto keliling yang beroperasi di sekitar tempat wisata di Kaliurang, Yogyakarta.
Kala itu, ia mengumpulkan lembaran-lembaran polaroid milik salah satu fotografer dan menghadirkannya kembali sebagai upaya untuk membaca kembali jejak mereka di Kaliurang. Dalam pameran di ruangrupa, foto-foto dari risetnya di Kaliurang disandingkan dengan foto-foto hasil riset di Monas.
Karya lainnya yang ditampilkan Dito dalam pamerannya kali ini yaitu studi perbandingan hasil antara foto yang diambil dengan jasa fotografer keliling tersebut dan foto yang diambil sendiri atau selfie oleh para turis. Pose-pose para wisatawan yang menggunakan jasa fotografer tampak lebih normatif dan patuh mengikuti arahan si tukang foto, sementara yang ber-selfie tampak berpose lebih ‘liar’ karena diambil dari sudut pandangnya sendiri.
“Jadi Dito sebenarnya melakukan kerja sebagai seorang antropologis. yang membaca perilaku manusia, hanya saja dihadirkan secara visual, bukan cuma data mentah, apalagi memotret ulang. Pembacaan hasil riset dari sudut fotografi ini yang saya kira menarik,” ujar Barto.