NIKEN APRIANI, Sinta Nuriyah Wahid, gutha tamarin- sutra organdi di atas sutra satin, 110x195 cm, 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Ekspresi tokoh- tokoh perempuan Indonesia dituangkan dalam karya para guru dengan media batik dingin. Karya tersebut dirangkum dalam pameran “Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan: Eksplorasi Teknik Gutha Tamarin dalam Media Kain Sutra” di Gedung C Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 7-21 Agustus 2017.

“Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan” merupakan inisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan Perempuan Pendidik Seni Indonesia dari Komunitas 22 Ibu. Dikuratori Citra Smara Dewi, pameran ini menampilkan 36 karya sejarah visual yang melibatkan 34 perupa sekaligus pendidik, dari guru TK hingga dosen perguruan tinggi dari Jakarta, Bandung, dan Serang.

Baca juga Kecantikan Taiwan dalam Goresan Cat Air

Tak kurang 12 pahlawan nasional, 16 tokoh pejuang pergerakan, dan enam tokoh inspirasi Indonesia ditampilkan.

Tokoh-tokoh tersebut di antaranya Cut Meutia (karya Ariesa Pandanwangi) pahlawan nasional dari Aceh, Opu Daeng Risadju (karya Sri Rahayu Saptawati) pahlawan nasional dari Palopo, Lasminingrat (karya Nida Nabilah) pelopor pendidikan dari Garut, Ratu Zaleha (karya Siti Sartika) tokoh perjuangan perempuan dari Banjar, Maria E. Thomas (karya Hananta Yohaneth Nita) dari Minahasa Utara yang merupakan ginekolog perempuan Indonesia pertama, dan Rohana Kuddus (karya Wien Kustiwin MAZ) dari Sumatera Barat yang adalah wartawati Indonesia pertama.

Pemilihan tokoh-tokoh tersebut atas dasar pertimbangan keterwakilan daerah-daerah seluruh Indonesia, pahlawan nasional yang telah ditetapkan pemerintah, serta tokoh pergerakan dan perjuangan mewakili kewilayahan Indonesia yang beragam.

Pameran “Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan
Pameran “Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan” di Gedung C Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 7-21 Agustus 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Teknik gutha tamarin adalah pengembangan teknik batik menggunakan bahan dasar biji buah asam yang dihaluskan. Bubuk asam kemudian dicampur air dan sedikit lemak nabati atau margarin menjadi sejenis pasta.

Pasta tersebut berfungsi sebagai pengganti perintang cairan lilin yang digunakan dalam teknik batik tradisional di Tanah Air. Perbedaan mendasar dengan teknik batik tradisional adalah canting digantikan dengan gutta, dan tidak menggunakan kompor, karenanya sering disebut dengan teknik “batik dingin”.

Baca juga Nautika Rasa, Semangat Lestari dari Laut

Karya-karya dalam pameran ini tak sedikit yang memadukan teknik gutha tamarin dengan goresan kuas, sehingga terdapat konsep mixed media antara teknik batik dan lukis kain sutra. Cara ini menjadi upaya membangun kreativitas di kalangan seniman.

Kelebihan mengaplikasikan teknik gutha tamarin di atas sutra adalah warna yang dihasilkan lebih terang. Sebaliknya, tantangan beratnya adalah merintang pasta di atas kain dan menggores kuas untuk menghasilkan karakter. Perlu konsentrasi tinggi untuk menghasilkan bentuk yang optimal. Setiap tarikan garis harus diikuti “ritual” menahan napas agar tidak salah merintang pasta.

NINA IRNAWATI, SK Trimurti, gutha tamarin- kain sutra, 110x195 cm, 2017. (Silvia Galikano)
NINA IRNAWATI, SK Trimurti, gutha tamarin- kain sutra, 110×195 cm, 2017. (Silvia Galikano)

Begitu pula saat menggores kuas di atas sutra, kegagalan yang sering terjadi adalah “mblobor”, mengingat karakter kain sutra yang sangat lembut dengan pori-pori halus.

Tantangan terakhir adalah saat proses “kukus” atau merebus kain yang berfungsi memperkuat warna agar tidak luntur jika kena tetesan air. Hampir sebagian besar kegagalan karya adalah setelah direbus, karena terjadi hal-hal di luar prediksi, seperti perubahan warna menjadi pudar, penyusutan kain sutra, hingga perubahan bentuk objek wajah.

Baca juga “Cartography of Painting” Penanda Usainya Jeda

Karena itu pameran ini menyediakan satu ruangan yang memajang karya-karya “gagal” dalam proses penciptaan namun tetap memiliki nilai estetikanya sendiri.

“Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan” didasari kesadaran jika sejarah tidak selamanya hanya ditanamkan melalui bahasa tulisan seperti naskah/arsip, melainkan juga dapat dimaknai melalui pendekatan “history of images”. Pendekatan ini diwujudkan melalui karya-karya visual dengan ekspresi realisme, dekoratif, hingga sentuhan kubisme yang memiliki spirit kesejarahan.