Iabadiou Piko, Pameran Seni, Karya Lukis, Lukisan
Iabadiou Piko, "Cahaya Hitam Meruang di Sekujur Tubuh Kuning yang Senyap Sunyi Biru di Antara Sepotong Jiwa yang Bisa Berlalu", uk 200x200 cm, acrylic,oil, aerosol spray on linen blend, 2017. (Jacky Rachmansyah)

Sembilan karya yang dipamerkan Iabadiou Piko di pameran tunggal ketiganya, “Menumpuk di Atas Hamparan”, memberi kita “lanskap” yang aneh. Di kanvas Piko, kita merasa seperti melihat suatu objek yang kita kenali (laut, pohon, binatang, dan lainnya), tetapi juga dibuat ragu akibat adanya garis, warna, dan bentuk yang menumpuk di tempat yang sama.

Lihatlah karya Menumpuk di Atas Hamparan. Mencoret Berisik di Bawah Pink. Di Kejauhan Tampak Pemandangan di atas Laut. Sepotong Jiwa Biru Perlahan Tenggelam. Tanpa dipandu oleh kata “laut” di sana pun, mudah buat kita mengaitkan bidang yang diberi warna biru di lukisan itu dengan laut. Apalagi di atasnya ada sebuah objek yang agaknya dapat segera kita bayangkan sebagai ikan atau kapal laut. Tapi apakah coretan-coretan garis, sapuan kuas, dan cat-cat yang saling tiban di atasnya? Rasa penasaran atas gangguan macam inilah yang akhirnya membuat kita lantas tidak yakin pada citra laut yang sudah kita tanam.

Pelukis asal Sumatra ini mengatakan bahwa yang ia lukis adalah “pemandangan”, dalam arti objek yang kita pandang, ditambah semua yang mengganggu pandangan kita saat memandangnya. Ia berujar, “Ketika kita melihat sebuah pemandangan, mata kita tidak begitu saja melihatnya, ada konflik yang kita lewati sebelum sampai ke sana berupa angin atau benda-benda lain.”

Iabadiou Piko,
Iabadiou Piko, “Di Ujung Waktu yang Bersembunyi, di Ujung Lurus yang Berkabut, di Antara Ilalang Kering yang Menusuk Jiwa Baru”, uk 160×145 cm, acrylic, bitumen biru on canvas, 2017. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Ia sesungguhnya sedang bicara soal ruang di pameran yang diadakan di D Gallerie, 26 Juli-31 Agustus 2017 ini. Pada karya Piko, ruang bukan sebatas arsitektur, melainkan juga lapisan-lapisan yang terbentang dalam jangkauan pandangan mata. Sehingga, yang disebut ruang ini tidak lagi kaku batasannya. Ia menjadi lebih luas.

Tapi ia sadar betul bahwa yang memandang karyanya belum tentu berpikir ke sana. “Saya memberi peluang pada audiens untuk melihat ruang itu dengan cara lain sesuai asosiasi bebas mereka. Karena, sebetulnya waktu mereka melihatnya, mereka sedang memiliki ruangnya sendiri.”

Chabib Duta Hapsoro yang mengkuratori pameran ini menulis dalam catatannya, “Kita juga dapat melihat kekaryaan Piko yang sebenarnya juga tak abstrak-abstrak amat. Selain mengingatkan kita pada rupa-rupa yang kita lihat di kenyataan sekeliling, praktik melukis Piko juga menjadi tumpukan tak terbahasakan atas pengalaman sosial dan spiritualnya dalam dunia kontemporer hari ini.”

Sebagaimana yang diutarakan Chabib, praktik melukis Piko memang “tak terbahasakan”. Ia melukis dengan spontan. Sebuah lukisan ditetapkan selesai atau belum berdasarkan perasaannya sendiri. Namun, ternyata praktik demikian masih memberi kita kejutan.

Iabadiou Piko,
Iabadiou Piko, “Menembak Biru yang Perlahan Menghitam, Membakar Pesona Angin yang Diam pada Sekujur Jiwa yang Kembali Memutih”, uk 160×145 cm, acrylic, bitumen biru, pecil on canvas, 2017. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Jika membandingkannya dengan karya-karya lama Piko, karya-karya di pameran ini, yang dibuat di tahun 2017, menunjukkan eksperimen-eksperimen yang dilakukan si seniman. Eksplorasi material dan warna adalah contohnya. Karya Di Ujung Waktu yang Bersembunyi, Di Ujung Lurus yang Berkabut , Di Antara Ilalang Kering yang Menusuk Jiwa Biru, misalnya, memakai bitumen sebagai materialnya. Bahan ini biasa dipakai untuk bahan aspal. Di lukisan Piko, bitumen membuat tekstur yang timbul dan kasar. Bidang kanvas dipenuhi oleh alur-alur monoton dalam warna kelabu monoton, menghadirkan citraan yang lebih solid.

“Bitumen sering menimbulkan karakter yang tak terduga, terkadang dilihat seperti badai atau ombak dan membentuk karakter ruangnya sendiri. Ia sunyi dan menutupi konflik juga menahan suatu misteri,” terang Piko saat ditanya alasan penggunaan bitumen.

Dari segi warna, karya-karyanya di pameran ini terlihat lebih segar. Iabadiou Piko kelihatan sudah mulai berani memakai warna-warna yang jarang ia pilih di karya sebelumnya. Jika mengingat karya-karya Piko di 2015, atau di pameran tunggal perdananya di Laugh on The Floor, Bandung, kita menemukan warna-warna yang itu-itu saja. Biasanya warna gelap bertemu dengan gelap, atau warna cerah tapi berulang di hampir seluruh karya. Lalu di pameran tunggalnya di Berlin tahun silam, kelihatan kecenderungan itu mulai bergeser.

Dan kini, pada karya-karya seperti Cahaya Hitam Meruang di Sekujur Tubuh Kuning yang Senyap Sunyi Biru di Antara Sepotong Jiwa yang Bisa Berlalu atau Menembak Biru yang Perlahan Menghitam, Membakar Pesona Angin yang Diam pada Sekujur Jiwa yang Kembali Memutih, kita dapati suasana yang lebih cerah dan penuh main-main. Bolehlah kita berserah dalam permainannya, memasuki ruang-ruang dalam kanvas dan di kepala kita sendiri. Di era yang semakin fotografis seperti sekarang, citraan Iabadiou Piko bisa dianggap wahana visual alternatif yang lebih bebas kita maknai.

Artikel Tersesat dalam Seluk-Beluk Ruang Pandang dimuat di majalah SARASVATI edisi Agustus 2017