Memasuki dua tahun perannya sebagai seorang ayah, seniman Agugn Prabowo merasakan perubahan prioritas dalam hidupnya. Naluri untuk melindungi sang anak bergumul dengan kegelisahan bahwa bahwa melindungi pun ada batasnya.
Kegelisahannya atas makna sebuah perlindungan yang paradoks kemudian dituangkannya dalam konsep ketakutan pada karya-karyanya di ruang seni Jogja Contemporary, Yogyakarta, 3- 23 September 2015. Dalam pameran tunggal bertajuk ‘Unguarded Guards’ ini, Agugn menampilkan sebuah rangkaian karya terbarunya yang dikerjakan dengan teknik cukil lino, fotolithografi dan kombinasi keduanya, yang semuanya dicetak di atas kertas buatan sendiri.
“Agugn sendiri mulai beralih ke teknik cukil lino saat istrinya mengandung anak laki-laki mereka, Lino Apta. Teknik cukil kayu yang ia tekuni sebelumnya dirasa tidak lagi mungkin dilanjutkan karena takut serat-serat kayu yang memenuhi studio yang juga menjadi rumahnya bisa membahayakan sang istri dan anak,” tulis Roy Voragen, kurator pameran, dalam catatan kuratorialnya.
Agugn pun mencetak hasil dari pelat-pelatnya dengan menggunakan teknik reduksi dengan registrasi berbentuk huruf L. Dengan dua alat tekannya yang hanya seluas 40cm x 40cm dan 45 cm x 65cm, Agugn pun bekerja secara modular untuk karya-karyanya yang cukup besar. Salah satunya yakni Sleepless. Karya yang menggambarkan riuhnya kegiatan dalam anatomi karakter manusia hitam andalannya terbagi dalam 44 frames kertas berdimensi masing-masing 27 cm x 37 cm.
Sementara itu pada Chill #1-3, Agugn mencetak 15 helai kertas berdimensi masing-masing 28 cm x 20 cm dalam satu frame seluas 120 cm x 101 cm dengan teknik fotolitografi. “Dan metode pengerjaan karya seperti ini menghasilkan sebuah mosaik, yang dengan demikian memberikan kemudahan bagi Agugn untuk menggunakan warna yang berbeda untuk setiap lembar yang berbeda, dan juga gambar yang berbeda-beda. Keterbatasan teknis semacam ini ternyata juga memberikan ruang eksplorasi konseptual bagi Agugn,” kata Roy.
Adapun kertas yang digunakannya sebagai medium cetak dibuat Agugn dari kertas koran dan kertas uji hasil cetak karya-karya sebelumnya yang didaur-ulang.Karenanya, kertas yang dibuatnya ini memiliki tekstur khas dan cukup tebal meski sangat berpori. Ia pun menggunakan tinta yang biasanya dipergunakan dalam industri percetakan. Kertas handmade Agugn mampu menyerap tinta berbahan dasar minyak semacam itu, yang membuat warna-warna dalam hasil cetakan sangat mencolok dan hidup.
Dalam pameran kali ini, Agugn menyandingkan lima karyanya yang penuh warna dengan satu karya bernuansa monokromatik, Kundika #2. Karya berdimensi yang didominasi warna cobalt blue. Pemilihan warna ini seakan mengingatkan pada istrinya, Sekarputri Sidhiwati, yang merupakan seorang seniman keramik. Semua karyanya untuk pameran ini dibuatnya dalam dua bulan terakhir sebelum pameran.
Di samping pamerannya di Jogja Contemporary, Agugn juga menggelar pamerannya di Krack! Studio, Yogyakarta, 5-23 September 2015. Pengambilan dua lokasi pameran di Yogyakarta, menurut Roy, menjadi ajang interaksi karya Agugn yang dipengaruhi gaya Bandung dan Jogja dengan audiens di Yogyakarta yang dikenal dengan komunitas printmaking yang kuat.
Dalam pameran bertajuk ‘We Went Wild’ tersebut, Agugn pun memamerkan karya dalam bentuk sepuluh edisi buku buatan tangan yang juga tersedia dalam versi cetak digital serta pembingkaian untuk setiap halaman karyanya. Dalam pameran ini, Agugn berkolaborasi dengan putranya dengan menggubah doodle buatan Lino, anaknya, menjadi karya dengan teknik linocut dan letterpress. Sementara itu, Agugn juga akan mengajari cara membuat kertasnya dalam Papermaking Workshop yang digelar pada Sabtu, 12 September 2015 pukul 10.00 WIB.