Mark Sanchez (Quezon City), "Sanity Mapping", Instalasi cat akrilik dan gambar kain terpal pada papan kertas, 2017. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Sumber pangan yang kita temui sehari-hari ternyata menyimpan berbagai narasi yang tak hanya berbicara soal fungsi dasarnya untuk mengenyangkan perut. Tanpa disadari, keberadaan pangan yang mudah kita temui merupakan hasil konstruksi “budaya” sejak puluhan tahun lamanya. Revolusi Hijau salah satunya, secara besar-besaran mengubah praktik pertanian sejak rezim Orde Baru berkuasa guna mencapai swasembada yang turut memberi dampak pada ketersediaan pangan di Indonesia hingga saat ini.

Tak hanya ketersediaan pangan, Revolusi Hijau juga secara tak langsung mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang lebih bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Beberapa pembahasan inilah yang ditawarkan OK.Video, sebuah festival seni media dua tahunan yang diinisiasi ruangrupa sejak 2003. Tahun ini, OK. Video yang telah menginjak kali ke-8 hadir mengusung “Pangan” sebagai tema utama.

Untuk membahas wacana pangan, gelaran bertajuk “OK.Pangan: OK.Video – Indonesia Media Arts Festival 2017” ini berlangsung pada 22 Juli – 16 Agustus 2017. Menunjuk Julia Sarisetiati dan Renan Laru-an sebagai kurator, festival ini mengorganisir beragam kegiatan yang terdiri dari pameran karya seni, pertunjukan, teater spesifik, proyek seni, dan penelitian.

Julia Sarisetiati adalah salah satu direktur kreatif badan komunikasi visual RURU Corps yang aktif sebagai seniman, fotografer dan kurator. Sedangkan Renan Laru-an adalah peneliti dan kurator yang berbasis di Filipina, juga pendiri platform seni kontemporer multidisiplin bernama DiscLab. Berbagai inisiatif dan pembahasan isu pangan lewat seni media ini berlangsung di markas ruangrupa yakni Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta.

Tema pangan dikatakan Julia Sarisetiati masih terhubung dengan tema “Orde Baru” yang diangkat dalam perhelatan OK. Video sebelumnya. Rezim Orde Baru yang lama berkuasa, menurutnya mempengaruhi banyak kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar manusia, salah satunya adalah perihal pangan lewat Revolusi Hijau.

“Pada saat rezim berkuasa, di saat bersamaan ada rezim pengetahuan juga yang berkuasa. Nah, rezim pengetahuan ini mempengaruhi kebijakan-kebijakan. Pengetahuan seperti apa yang didorong untuk diterapkan? Narasi pengetahuan yang mana yang ingin lebih diutamakan oleh rezim? Sementara kita tahu dengan Revolusi Hijau, banyak konsekuensi ekologis yang juga berdampak hingga saat ini: penggunaan pupuk kimia, tanah yang rusak, dan alih fungsi lahan besar-besaran,” ujar kurator yang akrab disapa Sari.

karya Julian 'Togar' Abraham di pameran OK.Pangan
Julian ‘Togar’ Abraham, “Konspirasi (Air) Seni”. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Sari juga menjelaskan bahwa sebelum Revolusi Hijau digalakkan, petani-petani sudah mengembangkan pengetahuan lokal masing-masing dengan konteks ruang dan kondisi geografis yang berbeda-beda. Dengan begitu, cara pengolahan dan pengetahuan yang dikembangkan di satu tempat belum tentu cocok di tempat yang lain. Sedangkan rezim yang berkuasa cenderung menyamaratakan penerapan metode pertanian tanpa memikirkan perbedaan geografis tersebut.

“Kami tertarik banget untuk melihat kembali pengetahuan-pengetahuan yang sudah dari dulu dimiliki petani. Itu harus dipanggungkan kembali,” tegas Sari.

Pembahasan topik pangan ini tidak seluruhnya dieksekusi oleh seniman, beberapa dari mereka adalah individu atau praktisi lintas disiplin yang punya perhatian pada isu politik pangan dan sadar akan penggunaan media. Mereka yang terlibat adalah Agung Kurniawan, Ales Cermak, Arne Hendriks, Ary Sendy & Heru Sukmadana, ASEAN Secretariat Resource Center and Sajogyo Institute, Bakudapan Food Study Group, Carolina Caycedo, Cooking Sections, Hanne Nieles & Brigit Johnsen, Jen Liu, Jonathas De Andrade, Luinambi Vesiano, Mark Sanchez, Matte Guidi, Minerva Co-Lab & Reza Hilmawan, Minja Gu, Nastiti Dewanti & Teguh Safarizal, Pinar Yoldas, Prajakta Potnis, ruangrupa & Noorderlicht, Run Wrake, Saleh Husein, Soemantri Gelar & Berto Tukan, Syaiful Garibaldi & Sita Nandiasa, Tadasu Takamine, Ursula Biemann & Paulo Tavarez, dan Wapke Feenstra.

Masuk ke dalam ruang pamer, karya Kisah Manis dan Getir Gula dari ruangrupa dan Noorderlicht menyambut kita lewat kumpulan foto tentang industri gula di pulau Jawa. Sedangkan di sisi kiri, dua lingkaran besar Sanity Mapping dari Mark Sanchez mencoba memetakan berbagai karakter fiksi dan non fiksi dalam klasifikasi kesehatan mental yang dibuat oleh WHO.

Sebuah kotak yang menyerupai kedai makanan tampak menarik, menampilkan berbagai foto dan video makanan yang menggugah selera.  Adalah Minja Gu, seniman asal Korea Selatan yang merepresentasikan kembali makanan-makanan dengan amat presisi. Karyanya menjadi sebuah kritik tersendiri pada tampilan kuliner Korea masa kini yang melunturkan orisinilitasnya. Kuliner Korea sekarang semakin dihadirkan semakin bergaya pop agar diterima pasar.

Di pojok ruang pamer, sebuah benda putih menggantung. Disandingkan dengan video yang memperlihatkan gerakan organisme pengurai. Karya ini merupakan milik Syaiful ‘Tepu’ Garibaldi, yang berbicara tentang peran manusia di siklus kehidupan. Saat hidup, manusia melakukan aktvitas konsumsi. Namun setelah kematian, tubuh manusia juga menjadi sesuatu yang dikonsumsi oleh makhluk pengurai.

Beberapa karya juga ditampilkan di Ruru Gallery yang terletak disamping hall A4. Di sana karya menarik dari kolaborasi Bakudapan, Luinambi Vesiano, Kiper (Kiprah Perempuan) dan Dialita, menampilkan cerita kehidupan tahanan politik (tapol) wanita tahun 1965 dan upaya mereka dalam bertahan hidup dengan pangan yang terbatas. Sebagai tapol, mereka harus mencari cara untuk melakukan pertukaran antara hasil sulaman dengan bahan makanan, atau mempelajari tanaman liar yang bisa mereka konsumsi. Dilengkapi dengan ilustrasi dan video wawancara, karya ini nantinya akan dibukukan bertajuk The Cookbook Project.

Noorderlicht (Amsterdam) dan Ruangrupa (Jakarta) di pameran OK.Pangan
Noorderlicht (Amsterdam) dan Ruangrupa (Jakarta), “Kisah Manis dan Getir Gula: Foto-foto Sejarah”, foto arsip dan instalasi video, 2017. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Menggali pengetahuan tentang tanaman liar sebagai bahan pangan juga dilakukan oleh Luinambi Vesiano. Lewat Food Around Us, ia menampilkan tanaman liar ramah konsumsi berlatar warna-warna kontras.

“Banyak di sekitar kita tanaman yang tidak terdomestifikasi, yang tidak diproduksi massal, karena pengetahuannya tidak dibentuk. Masalahnya memang karena tidak banyak yang riset dan membicarakan. Menariknya, dia (Luinambi) seperti memberikan panggung pada tanaman liar ini,” ujar Sari.

Sedangkan Arne Hendriks menampilkan kumpulan spekulasinya tentang manusia yang mengecil hingga ke ukuran 50 cm. Ia mengajak kita membayangkan apa yang terjadi apabila manusia memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil. Segala kebutuhan pangan dan energi, tentunya akan ikut berkurang. Sebagai contoh, ia menampilkan pemikiran tentang satu ayam yang bisa dikonsumsi lebih banyak manusia kecil ketimbang manusia normal. Hal ini muncul dari keprihatinannya tentang sumber daya yang semakin terbatas saat ini.

Selain itu juga terdapat seniman yang berpartisipasi dalam Open Lab, yakni pendekatan laboratorium untuk mengeksplorasi dan menampilkan hubungan antara media, teknologi dan politik pangan. Salah satunya adalah proyek Konspirasi (Air) Seni dari Julian ‘Togar’ Abraham. Seniman asal Medan yang berdomisili di Yogyakarta ini menemukan banyaknya orang Indonesia yang mengidap diabetes yang bukan keturunan, namun akibat gaya hidup. Ia mengolah dan bereksperimen dengan air seni penderita diabetes untuk diubah menjadi bioethanol.

Peserta Open Lab lainnya yakni Warung Ramah, merespons taman kecil di Gudang Sarinah dengan menanam legum (kacang-kacangan). Hal ini berangkat dari ketertarikan Warung Ramah pada pengetahuan yang dimiliki petani sebelum penggalakan Revolusi Hijau. Kacang digunakan untuk mengembalikan unsur hara di dalam tanah yang kelelahan. Kali ini, tanah Jakarta yang minim unsur hara coba dieksperimen dengan legum.

Terlepas dari berbagai gagasan yang dihadirkan OK.Pangan, festival ini mengingatkan kembali tentang politik di balik pangan kepada generasi yang tidak mengetahui atau bahkan melupakan sejarah. Bahwa di balik kebijakan, menyimpan dampak bagi kehidupan sekarang ataupun nanti. Tindakan keluar dari zona nyaman OK.Video juga menjadi menarik, ketika mereka tidak lagi hadir di Galeri Nasional dan memilih di Gudang Sarinah Ekosistem. Berbagai hambatan teknis sering kali terjadi karena pasokan listrik yang kurang memadai. Meski begitu, pengunjung yang saya lihat kebanyakan adalah pelajar, tampak tak kendor semangat. Justru menikmati suasana pameran yang tak begitu formal dengan segudang informasi di dalamnya.

Artikel Isu Politik Pangan dalam Seni Media dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017.