Belantara tak selalu berupa pepohonan. Di kota, ketika pepohonan ditebangi untuk tempat hunian manusia, belantara telah menjadi bangunan-bangunan beton yang ketinggiannya seolah ingin menjangkau langit.
Pembacaan tentang kota semacam ini bukanlah sesuatu yang baru. Telah banyak interpretasi yang menempatkan bahwa kota sama saja dengan hutan. Ada hukum rimba yang berlaku di dalamnya, dan ketinggian-ketinggian bangunan di kota, sejatinya mengikuti pola pepohonan di hutan. Dengan kata lain, gedung-gedung tinggi merupakan pohon artifisial.
Konsep menampilkan perkotaan dalam sudut pandang ekosistem bukanlah hal yang baru. Namun tetap relevan hingga sekarang, terutama sebagai daya pengingat bagi masyarakat perkotaan tentang apa yang hilang dari alam atas cara hidup mereka. Inilah yang didapatkan dari 19 karya Nyoman Sujana Kenyem yang ditampilkan dalam pameran tunggalnya berjudul “Highest” di Philo Art Space, Kemang, Jakarta Selatan, dari 9-29 September. Pameran ini sekaligus menandai ulang tahun Kenyem ke-41 dan ulang tahun Philo Art Space ke-8 yang keduanya jatuh pada 9 September.
Isu tentang dunia urban, memang akan selalu menarik terutama ketika dikaitkan bahwa di gedung-gedung tinggi itulah, tempat karya-karya seni dipajang entah sekadar sebagai pengisi interior ataupun sebagai bagian dari kebutuhan manusia akan fungsi seni sebagai pemberi kepuasan batin. Di ruang-ruang kehidupan urban itulah 19 karya Kenyem relevan tidak hanya dari segi tema, namun juga dari segi visual. Karya-karya Kenyem menampilkan komposisi harmoni antara tema, objek, dan warna yang tetap memiliki unsur dekoratif sebagai kekuatan lukisan-lukisan gaya Bali.
Kenyem adalah sosok persinggungan antara tradisi dan modern, emerging dan established. Begitu pula dalam tema yang diangkatnya ini. Dari kacamatanya sebagai pelukis yang tinggal di Ubud, Bali, ia memandang bahwa kehidupan kota identik dengan bangunan tinggi – sesuatu yang tidak ditemukan di Bali yang memiliki aturan ketat terhadap pendirian bangunan.
Bagi Tommy F. Awuy, kurator pameran ini dan pemilik Philo Art Space, cara pembacaan Kenyem atas kehidupan kota ini sebagai wujud obsesi dan ambisi manusia urban akan ketinggian sebagai simbol daya kuasa dalam mengendalikan kehidupan. Kita jadi teringat akan Menara Babel, yang dibangun sebagai usaha manusia untuk menjadi “tuhan”. Lewat objek-objek gedung-gedung tinggi dalam lukisan Kenyem, publik seni perkotaan seolah diingatkan akan sindrom kekuasaan yang bergerak seperti virus.
Namun ketinggian yang dilukis Kenyem bukanlah semacam kengerian yang membuat warga perkotaan menjadi risih untuk membeli karya-karyanya. Secara visual, Kenyem menggambarkan sindrom kekuasaan masyarakat perkotaan dengan tampilan yang legit, berwarna cerah, ceria dengan figur-figur mini yang tampak seolah-olah menari di antara bangunan, komposisi yang cenderung grafis, dan detail dekoratif yang ramai khas Bali.
Lihatlah pada karya Kota Impian (150 x 200 cm, mixed media on canvas, 2013). Kenyem menggambar bunga-bunga kuning yang mengerumuni hampir tiga perempat kanvas. Menutupi langit dan seolah menaungi para manusia mini yang berada di puncak bangunan. Kemudian Kota di Atas Pohon (200 x 200 cm, mixed media on canvas, 2013) yang berlatar warna jingga, dengan pohon berdaun merah. Permainan warna yang meriah ini menjadikan karya-karya Kenyem langsung memikat mata awam. Belum lagi dengan ketekunan Kenyem membuat detail ornamen-ornamen di masing-masing kanvas, memperlihatkan masih ikut sertanya pengaruh lukisan gaya Bali yang kaya akan ornamen.
Di sinilah kita melihat persinggungan dunia Kenyem. Ia berada di perbatasan yang membuat karya-karyanya fleksibel. Karyanya bisa diterima oleh mereka yang telah berada di dunia urban karena mengangkat wajah perkotaan, namun juga masih diterima oleh kolektor yang menggemari gaya tradisional Bali.
Penggunaan grafis, ornamen, dan objek-objek yang familiar secara awam menjadikan karya-karyanya collectible. Belum lagi untuk sebagian kolektor, ada sejumlah objek-objek yang dinilai memberikan hoki, dari penggunaan warna emas dan cerah – yang bisa ditemukan di karya-karya Kenyem, juga tema “ketinggian” yang dilukis perupa ini, bisa dinilai sebagai bentuk harapan bagi kolektor yang memajang karyanya untuk bisa mendatangkan daya-kuasa tadi.
Strategi inilah yang menjadikan Kenyem bisa dikatakan sebagai perupa yang mulai meninggalkan ranah emerging. Apalagi melihat deretan pameran-pameran tunggal yang telah dilakukannya di dalam dan luar negeri. Perupa lulusan STSI Denpasar pada tahun 1998 ini pernah berpameran di Galeri Nakita Stockholm, Swedia pada 1996, D’Peak Art Space, Singapura, dan di G13 Gallery di Selangor, Malaysia selain di dalam negeri. Namun tentu saja, bagi mereka yang memerlukan karya yang memberikan pemaknaan lebih mendalam tentang urban perkotaan, kurang mendapatkan “gigitan” dari 19 karya Kenyem. Karena kota tak selalu tinggi, meriah, dan manis, namun juga ada lembah-lembah hitam di balik gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Dewi Ria Utari