Di dalam medan seni rupa Barat, Revolusi Industri punya implikasi sangat besar, terutama dalam memotivasi lahirnya berbagai modus artistik baru. Tak terkecuali patung yang fitur semantik dan praktik perwujudannya juga turut bergeser. Secara tradisional, patung dipahami sebagai bentuk seni tiga dimensional, representasional, solid dan statis, serta biasanya sekadar mengenal teknik-teknik utama semacam pahat dan modeling.
Pasca-Revolusi Industri, konsep, material, serta metodenya berubah akibat temuan alat atau teknologi terbaru di dalam proses produksinya. Wujudnya tidak lagi melulu figuratif dan representasional, tetapi sudah menjadi serbaberagam; abstrak, kinetis, menggunakan objek temuan atau readymade dan assembled.
Marcel Duchamp, misalnya, lewat Fountain (1917), bahkan sekadar meletakkan wadah kencing (urinal) sungguhan dengan bubuhan tanda tangan di dalam galeri yang lantas ia tunjuk sebagai karya patung. Patung atau lukisan, bukan hanya nama dari sebuah praktik seni, melainkan juga nama untuk sebuah sistem presentasi dari bagaimana karya seni itu dihadirkan.
Tentu saja gagasan maupun praktik seperti ini tidak berlaku jamak. Di berbagai tempat, kita masih bisa menemukan praktik-praktik yang berupaya mempertahankan otonomi patung, berkontestasi dengan praktik-praktik terbaru di dalam satu ruang yang sama. Namun, alih-alih menggerus, perspektif baru ini justru memperkaya dan membuka ruang eksplorasi bentuk yang sangat luas.
Kekayaan dan keunikan bentuk eksplorasi patung seperti itu tampaknya bisa kita raba dalam pameran patung Kelompok Semut yang diberi tajuk “Purpose”. Di dalam pameran yang digelar di Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta dari 7 Agustus hingga 7 September 2017, Dedy Maryadi, I Nyoman Agus Wijaya, Khusna Hardiyanto, Ostheo Andre, Rizal Kedthes, dan Yusuf Diligo menawarkan aneka bentuk artistik yang unik.
Seperti yang juga disebutkan Rain Rosidi, seniman-seniman tersebut dibesarkan di dalam medan seni rupa Yogyakarta yang proses kontestasinya berlangsung secara dinamis. Tampaknya, situasi seperti itu turut membentuk kecenderungan mereka dalam membuat dan mempresentasikan karya-karyanya.
Kelompok Semut seperti mau menunjukkan bagaimana praktik seni patung kontemporer yang ada saat ini. Karya-karyanya tidak terdiri dari material yang tunggal atau tradisional. Ia juga disajikan dengan berbagai macam teknik presentasi yang memikat, dengan memanfaatkan ruang yang tersedia.
Karya Rizal Kedthes, Beats in White, misalnya, yang berupaya menawarkan pengalaman berbeda kepada penonton dalam menikmati patung. Patung berwujud jantung raksasa yang ditempatkan di dalam ruang gelap, di atas lantai tanah dan pasir yang memenuhi ruangan. Batas antara patung dan instalasi menjadi kabur di dalam karya ini. Patung yang biasanya fokus pada satu objek tunggal, justru ditampilkan secara site specific, di mana keseluruhan objek bahkan ruang temporernya itu sendiri menjadi bagian integral dari karyanya.
Lain lagi dengan Yusup Dilogo, yang tiga karyanya disajikan layaknya lukisan yang bertengger di dinding. Titik Horizon #1 dan #2, serta Coklat Hijau, juga mengombinasikan material alami (kayu) dengan material industrial (resin, cat, atau kapas) untuk menciptakan kesan tertentu kepada audiens. Permukaan kayu dibiarkan tampil apa adanya, membiarkan garis dan mata kayunya tampil menyolok, dikombinasikan dengan sapuan resin yang membentuk pola tertentu.
Titik Horizontal #2, misalnya, seolah-olah menyingkap memori kolektif kita tentang gambar pemandangan alam yang kerap diajarkan semasa duduk di bangku sekolah dasar. Potongan-potongan kayu yang ditata secara rapi diasosiasikan sebagai pegunungan, yang di atasnya terbentang langit luas dan gambar jalan yang melintang. Kaya ini seolah-olah menjadi personifikasi semakin gundulnya wilayah pegunungan akibat ekspansi manusia.
Adapun karya Ostheo Andre, One Head dan Ego, bisa dilihat sebagai analogi permainan perihal salah satu sifat paling purba manusia, diwujudkan dalam bentuk presentasi artistik yang menarik; objek manusia berkepala batu. Ego, seperti hendak memproblematisasi kondisi yang kita alami sekarang, di mana setiap orang bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing atau merasa paling benar sendiri. Sementara One Head, menjadi semacam analogi dari mentalitas massa.
Karya-karya Ostheo sepertinya memang hendak merespon berbagai isu sosial terkini, tapi tetap berupaya disampaikan secara metaforis dan tidak banal. Pada karyanya yang lain, Penuh Warna, berupaya menggambarkan kenyataan masyarakat jejaring (network society). Dalam masyarakat jejaring, setiap orang saling terhubung dan sirkulasi informasi berlangsung cepat, sekelebat.
Ostheo tidak menampilkan fenomana itu secara hitam-putih atau moralis, tetapi tetap kritis: patung berbentuk bibir yang menyemburkan objek-objek memanjang bermacam warna, yang di ujungnya masing-masing membentuk bibir-bibir yang lain. Dia mau melihat bahwa dengan percepatan distribusi informasi itu, ditambah dengan masifnya media daring, potensi dari sebuah informasi untuk menjadi terdistorsi juga kian besar.
Karya-karya lain, seperti karya Dedy Maryadi, Khusna Hardiyanto, serta I Nyoman Agus Wijaya tentu punya dimensi estetisnya sendiri-sendiri. Misalnya Khusna, yang bermain-main dengan objek keseharian, Dedy yang mengeksplorasi objek tangan, atau Agus Wijaya yang sangat lekat dengan tradisi Bali. Metode presentasinya pun sangat bervariasi, dari ditempelkan di dinding, digantung, atau memanfaatkan lantai dan setumpu untuk objek karyanya. Variasi dari model penyajian tersebut membuat pameran ini jauh dari kata monoton.
Bagi saya, “Purpose” adalah sebuah pernyataan tentang bagaimana seni patung kontemporer kita saat ini. Patung-patung ini tampak sedang tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Karya-karya yang ditampilkan menunjukkan kekayaan yang muncul dalam proses eksplorasi artistik patung yang juga tengah berupaya mengambil posisi (taking position) di dalam medan seni rupa kontemporer. Seniman-seniman tersebut juga tampak tidak bermaksud menghidupkan kembali otonomi patung di antara bentuk seni yang lain. Mereka justru berani bermain-main melalui perwujudan bentuk karya dan model presentasinya di ruang pamer.
Artikel Mencari Posisi Patung di Dalam Medan Seni Rupa Kontemporer dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017.