Detail karya "Intimacy". (Foto: Cemeti Art House)

Tempe menyimpan narasi pilu bagi kehidupan personal Maryanto. Dari sebongkah tempe, ia mampu bicara lebih luas soal kontestasi dan budaya pangan.

Linda Mayasari dan Rulyani Isfihana berdiri berhadapan. Sejurus kemudian bergerak mengambil peranti memasak yang tergeletak di sekitar mereka, berusaha menatanya pada sebuah meja putih pendek yang telah dilubangi membentuk beragam bangun datar. Sontak piring, panci, teko, serta sendok berjatuhan ke lantai, menghasilkan aneka bunyi nyaring. Mereka mengulanginya lagi. Kali ini lebih cepat, ada kalanya bertabrakan.

Sepotong adegan tadi adalah bagian dari performance art proyek seni “The ‘Deadly’ Exotic Food: e_Tempe” yang digagas dan dikuratori Cemeti Art House, bersama seniman Maryanto.

Presentasi visual “The ‘Deadly’ Exotic Food e_Tempe”. (Foto: Suishoyama Photo Club)
Presentasi visual “The ‘Deadly’ Exotic Food e_Tempe”. (Foto: Suishoyama Photo Club)

 

“The ‘Deadly’ Exotic Food: e_Tempe” menjadi salah satu proyek yang dipamerkan di Fukutake House Asia Art Platform dalam rangkaian Setouchi Triennale 2016 di area Kepulauan Seto, Jepang. Setouchi Triennale yang menjadi festival seni rupa dengan durasi terpanjang tersebut diselenggarakan oleh Art Front Gallery sepanjang April hingga November 2016.

Event ini dikemas sebagai agenda pariwisata  guna menghadirkan dan menghidupkan museum seni, galeri, atau site specific object di tujuh pulau yang tersebar. Penyelenggara juga bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk  menciptakan konektivitas antarpulau dan membangun partisipasi warga dalam aktivitas kesenian sehari-hari.

 

*Ulasan lengkap Menyoal Pangan dalam Bahasa Rupa dapat dibaca di majalah Sarasvati edisi September 2016